Sabtu, 24 September 2011

ekimaru4islam.blogspot.com


Dalil - Dalil Tawasul

a. Tawassul dengan Rsulullah SAW. waktu masih hidup dan setelah wafat
a.1. Firman Allah dalam surat An-Nisa’ayat .64:
Artinya:
“Walaupun sesungguhnya mereka telah berbuat dhalim terhadap diri mereka,kemudian mereka datang kepadamu(Muhammad),mereka meminta ampun kepada Allah dan Rasul memintakan ampun untuk mereka,pasti mereka menjumpai Allah Maha pengampun dan Maha penyayang “.
Dalam ayat ini jelas bahwa Allah mengampuni dosa-dosa orang yang dhalim, di samping do’a mereka tetapi ada wasilah do’anya Rasulullah.SAW.
a.2. Dalam tafsir Ibnu Katsir jus.1.hal.520:

Artinya:
“Berkata al-Imam al-Hafidz As-syekh Imaduddin Ibnu Katsir; menyebutkan segolongan ulama’ diantaranya As-Syhekh Abu Manshur As-Shibagh dalam kitabnya As-Syaamil dari al-Ataby, berkata: saya duduk di kuburan Nabi SAW., maka datanglah seorang Badui dan ia berkata: Assalamu ‘Alaikum yaa Rasulullah! Saya telah mendengar Allah berfirman; walaupun sesungguhnnya mereka telah berbuat dhalim terhadap diri mereka kemudian datang kepadamu dan mereka meminta ampun kepada Allah, dan Rasul memintakan ampun untuk mereka, mereka pasti mendapatkan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang; dan saya telah datang kepadamu (ke kuburan Rasulullah) dengan meminta ampun akan dosaku dan memohon syafa'at dengan wasilahmu (Nabi) kepada ALlah; kemudian ia membaca syair memuji Rasulullah, kemudian orang Badui tadi pergi, maka saya ketiduran dan melihat Rasulullah dalam tidur saya, beliau bersabda: Wahai Ataby temuilah orang Badui tadi sampaikan kabar gembira bahwa Allah telah mengampuni dosanya”.
Dalam riwayat di atas jelas bahwa Ataby diampuni dosanya dengan tawassul kepada Nabi yang telah wafat.


Riwayat di atas diriwayatkan oleh al-Imam Nawawi dalam kitabnya:

Dan diriwayatkan pula oleh Abu Muhammad Ibnu Quddamah dalam kitabnya al-Mughni juz III hal 556.
Yang jelas riwayat al-Ataby ini banyak sekali diriwayatkan oleh para Ulama’ terkemuka.

b. Tawassul dengan Sahabat
b.1. Dalam kitab Riyadlus-Shalihin bab. Wadaais-shahib hal 275 hadits no. 3. Rasulullah SAW. bertawassul supaya Umar jangan lupa untuk menyertakan Rasulullah dalam segala do’anya di Mekkah ketika umrah.

Artinya:
“Dari sahabat Umar Ibnul Khatab r.a berkata: saya meminta izin kepada Nabi SAW. untuk melakukan ibadah umrah, kemudian Nabi mengizinkan saya dan Rasulullah SAW. bersabda; wahai saudaraku! Jangan kau lupakan kami dalam do’amu; Umar berkata: suatu kalimat yang bagi saya lebih senang dari pada mendapat kekayaan dunia. Dalam riwayat lain; Rasulullah SAW. bersabda: sertakanlah kami dalam do’amu”. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tarmidzi).
Dan masih banyak lagi dalil-dalil tawassul namun kami cukupkan apa yang telah kami sebutkan di atas. Dalam hadits di atas, Rasulullah meminta kepada Sayyidina Umar untuk menyertakan Rasulullah dalam do’anya Sayyidina Umar selama di Makkah, padahal kalau Rasulullah berdo’a sendiri tentu lebih diterima, tetapi beliau masih meminta do’a kepada Sayyidina Umar.
b.2. Dalam kitab Sahhihul Bukhari jilid I hal 179.
Sayyidina Umar Ibnu Khattabh bertawassul dengan Rasulullah dan Sayyidina Abbas ketika musim penceklik:

Artinya:
“Dari sahabat Anas; bahwasannya Umar Ibnu Khattabh r.a. apabila dalam keadaan paceklik (kekeringan) ia mohon hujan dengan wasilah Sayyidina Abbas Ibnu Abdil Muthalib, maka berdo’a Sayyidina Umar: Yaa Allah sesungguhnya kami bertawassul kepada Engkau dengan wasilah Nabi kami kemudian Engkau telah menurunkan hujan kepada kami, dan sesungguhnya kami sekarang bertawassul kepada Engkau dengan wasilah paman Nabi kami (S.Abbas) maka berilah kami hujan, berkata S. Umar kemudian diturunkan hujan”.
(Diriwayatkan oleh Bukhari).

c. Tawassul dengan para Ambiya’ dan Shalihin
Dalam kitab al-Kabiir wal Awsath al-Imam Thabrani; meriwayatkan sejarah Fathimah binti Asad Ibnu S.Ali bin Abi Thalib ketika wafat. Rasulullah SAW. yang menggali kuburan dan membuang tanahnya dengan tangan beliau. Maka tatkala selesai, Rasulullah masuk ke kubur tadi dan berbaring sambil berdo’a:

Artinya:
“Allah yang menghidupkan dan yang mematikan dan Dia yang hidup tidak mati; Ampunilah! untuk ibu saya Fathimah binti Asad dan ajarkanlah kepadanya hujjah (jawaban ketika ditanya malaikat) kepadanya dan luaskan kuburnya dengan wasilah kebenaran Nabimu dan kebenaran para Anbiya’ sebelum saya, sesungguhnya Engkau Maha Pengasih dan Rasulullah takbir empat kali dan mereka memasukkan ke dalam kubur ia (Rasulullah), S. Abbas dan S. Abu Bakar As-Shaddiq r.a.” (Diriwayatkan oleh Thabrani).
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban dan Hakim dari sahabat Anas. Dan diriwayatkan pula Ibnu Abi Syaibah dari sahabat Jabir, dan meriwayatkan pula Ibnu Abdul barr sahabat Ibnu Abbas.
KESIMPULAN:
1. Bertawassul dengan berdo’a dan mempergunakan wasilah, baik dengan iman, amal shaleh dan dengan orang-orang yang dekat kepada Allah SWT. jelas tidak disalahkan oleh agama bahkan yang dibenarkan.
2. Bertawassul bukan berarti kita meminta kepada yang kita jadikan wasilah, tetapi kita memohon agar yang kita jadikan wasilah memberikan keberkahan untuk diterima do’a kita. Bertawassul dengan wasilah yang disenangi Allah, atau berdo’a dengan menyebut sesuatu yang disenangi oleh Allah, tentu Allah akan menyenangi kita, dan meridlainya. Maka apa yang disenangi Allah kita sebut dalam do’a kita.
3. Bertawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah seperti para Anbiya’, para Rasul dan para Shalihin, bukan berarti kita minta kepada mereka, tetapi kita mohon agar mereka ikut memohon kepada Allah agar permohonan kita diterima oleh Allah SWT. Seluruhnya adalah hak Allah:
Dalam Al Quran
“Tiada ada yang mencegah kalau Allah mau memberi, dan tidak ada yang bisa memberi kalau Allah mencegahnya”.

Artinya:
“Katakanlah Dia Allah Yang Maha Esa dan Allah tempat meminta”.
4. Tawassul kepada orang mati sama dengan tawassul kepada orang hidup, karena yang rusak adalah jasadnya, adapun rohnya tetap hidup di alam barzah. Dia putus amalnya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk orang lain tidak ada dalil yang melarang. Contoh: Kita berziarah ke kubur orang tua, ketika mendo’akan kedua orang tua kita;

Artinya:
“Yaa Allah! Ampunilah aku dan ampunilah kedua orang tuaku, dan kasihanilah kedua orang tuaku sebagaimana kedua orang tuaku mengasihani aku waktu kecil”.
Tidak ada ayat al-Qur’an dan Hadits Rasulullah yang melarang orang tua kita di alam barzah untuk mendo’akan anak cucunya. Tentu setelah mereka mendapatkan do’a dari kita, tidak mustahil mereka di alam barzah berdo’a; Ya Allah selamatkan anak kami di dunia dan seterusnya.
Adapun diterima atau tidak, bukan urusan kita, karena itu semua hak

Bukti Imam Syafi'i BerAqidah Aswaja

Tak henti-hentinya kelompok minoritas ini (wahhaby salafy) memanipulasi ucapan-ucapan para imam Ahlus sunnah wal jama’ah, demi menguatkan ajaran menyimpang yang mereka bawa, mereka berani memutar balikkan fakta dari yang sebenarnya, membuat ucapan palsu da...n dusta atas nama para imam Ahlus sunnah waljama'ah.

Tak luput dari perbuatan kotor mereka, imam Syafi’i pun menjadi sasaran TALBIS mereka. Mereka (wahhaby salafy) mengatakan bahwa Imam Syafi’I saja berkeyakinan bahwa Allah itu berada di atas Arsy di dalam langitnya, berikut dalil palsu mereka :

Di dalam kitab Mukhtashor Al-‘ulwi halaman : 176, juga terdapat dalam ucapan Ibnu Al-Qoyyim dalam bab Ijtima’ul juyusy, disebutkan berikut ini :


" روى شيخ الإسلام أبو الحسن الهكاري ، والحافظ أبو محمد المقدسي بإسنادهم إلى أبي ثور وأبي شعيب كلاهما عن الإمام محمد بن إدريس الشافعي ناصر الحديث رحمه الله قال: القول في السنة التي أنا عليها ورأيت أصحابنا عليها أهل الحديث الذين رأيتهم وأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الاقرار بالشهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله ، وأن الله تعالى على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وأن الله ينزل إلى السماء الدنيا كيف شاء "



“ Syaikhul Islam Abu Hasan Al-Hakary meriwayatkan dan Al-Hafidz Abu Muhammad Al-Muqoddasi dengan isnad mereka kepada Abu Tsaur dan Abu Syu’aib, keduanya dari imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I, Nashirul hadits Rh, beliau berkata “ Pendapat di dalam sunnah yang aku pegang dan juga para sahabatku dari Ahli hadits yang telah aku saksikan dan aku ambil dari mereka seperti Sufyan, Malik dan selain keduanya adalah pengakuan dengan syahadah bahwa tiada Tuhan selain Allah Swt, Muhammad adalah utusan Allah dan sesungguhnya Allah Swt di atas Arsy-Nya di dalam langit-Nya yang mendekat kepada makhluk-Nya kapan saja DIA kehendaki, dan sesungguhnya Allah turun ke langit dunia kapan saja DIA kehendaki “.

JAWABAN :

Benarkah ini ucapan dan pendapat imam Syafi’i ??? di sini kita akan membongkar kebusukan dan penipuan mereka atas nama imam Syafi’i.



Dari sisi sanad :

1. Al-Hafidz Adz-Dzahaby di dalam kitabnya MIZAN AL-I’TIDAL juz : 3 halaman : 112 berkata :

أبي الحسن الهكاري : أحد الكذابين الوضاعين

“ Abu Al-Hasan Al-Hakkari adalah salah satu orang yang suka berdusta dan sering memalsukan ucapan “


2. Abul Al-Qosim bin Asakir juga berkata :

قال أبو القاسم بن عساكر : لم يكن موثوقاً به

“ Dia (Abu Al-Hasan) orang yang tidak dapat dipercaya “


3. Ibnu Najjar berkata :

وقال ابن النجار : متهم بوضع الحديث وتركيب الأسانيد

“ Dia dicurigai memalsukan hadits dan menyusun-nysun sanad “

Al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam kitab LISAN AL-MIZAN juz : 4 halaman : 159 berkata :

وكان الغالب على حديثه الغرائب والمنكرات ، وفي حديثه أشياء موضوعة

“ Kebanyakan hadits yg diriwayatkannya adalah ghorib dan mungkar dan juga terdapat hadits-hadits palsunya “.



4. Ibrahim bin Muhammad Ibn Sibth bin Al-Ajami di di dalam kitabnya Al-Kasyfu Al-Hatsits juz ; 1 halaman : 184 :

وهو كذاب وضاع

“ Dia adalah seorag yang suaka berdusta dan suka memalsukan hadits “

Dari sisi tarikh / sejarah :

Mereka (wahhaby salafy) mengaku atsar tersebut diriwayatkan oleh Abu Syu’aib dari imam Syafi’i. Benarkah ??

Ini sebuah kedustaan yang nyata karena di dalam kitab-kitab tarikh / sejarah bahwasanya Abu Syu’aib ini dilahirkan dua tahun setelah wafatnya imam Syafi’i, sebagaimana disebutkan dalam kitab TARIKH AL-BAGHDADI juz : 9 halaman : 436.



Sekarang bagaimanakah aqidah imam syafi’i yang sebenarnya tentang Istiwa Allah Swt ?



Berikut ini ucapan-ucapan imam Syafi’i yang kami nukil dari kitab-kitab yang mu’tabar dan dari riwayat-riwayat yang tsiqoh :

1 Ketika imam Syafi’I ditanya tentang makna ISTIWA dalam al-Quran beliau menjawab :

“ ءامنت بلا تشبيه وصدقت بلا تمثيل واتهمت نفسي في الإدراك وأمسكت عن الخوض فيه كل الإمساك”

ذكره الإمام أحمد الرفاعي في ( البرهان المؤيد) (ص 24) والإمام تقي الدين الحصني في (دفع شبه من شبه وتمرد ) (ص 18) وغيرهما كثير.



“ Aku mengimani istiwa Allah tanpa memberi perumpamaan dan aku membenarkannya tanpa member permisalan, dan aku mengkhawatirkan nafsuku di dalam memahaminya dan aku mencegah diriku dari memperdalam persoalan ini dengan sebenar-benarnya pencegahan “



Ini telah disebutkan oleh imam Ahmad Ar-Rifa’i di dalam kitab “ Al-Burhan Al-Muayyad “ (Bukti yang kuat) halaman ; 24.

Juga telah disebutkan oleh imam Taqiyyuddin Al-Hishni di dalam kitab Daf’u syibhi man syabbaha wa tamarroda halaman : 18. Di dalam kitab ini juga pada halaman ke 56 disebutkan bahwa imam Syafi’I berkata :

ءامنت بما جاء عن الله على مراد الله وبما جاء عن رسول الله على مراد رسول الله

“ Aku beriman dengan apa yang dating dari Allah Swt atas menurut maksud Allah Swt, dan beriman dengan apa yang dating dari Rasulullah Saw menurut maksud Rasulullah Saw “.



Syaikh Salamah Al-Azaami dan selainnya mengomentari ucapan imam syafi’I tsb :

ومعناه لا على ما قد تذهب إليه الأوهام والظنون من المعاني الحسية والجسمية التي لا تجوز في حق الله تعالى.



“ Maknanya adalah bukan seperti yang terlitas oleh pikiran dan persangkaan dari makna fisik dan jisim yang tidak boleh bagi haq Allah Swt “

Dan masih banyak lagi yang lainnya.



2. Ketika imam Syafi’i ditanya tentang sifat Allah Swt, beliau menjawab :

حرام على العقول أن تمثل الله تعالى وعلى الأوهام أن تحد وعلى الظنون أن تقطع وعلى النفوس أن تفكر وعلى الضمائر أن تعمق وعلى الخواطر أن تحيط إلا ما وصف به نفسه – أي الله – على لسان نبيه صلى الله عليه وسلم

ذكره الشيخ ابن جهبل في رسالته انظر طبقات الشافعية الكبرى ج 9/40 في نفي الجهة عن الله التي رد فيها على ابن تيمية.



“ Haram bagi akal untuk menyerupakan Allah Swt, haram bagi pemikiran untuk membatasi Allah Swt, haram bagi persangkaan untuk memutusi Allah Swt, haram bagi jiwa untuk bertafakkur, haram bagi hati untuk memperdalam sifat Allah, haram bagi lintasan hati untuk membatasi Allah, kecuali apa yang telah Allah sifati sendiri atas lisan nabi-Nya Muhammad Saw “.



(Telah disebutkan oleh syaikh Ibnu Jahbal di dalam Risalahnya, lihatlah Thobaqot Asy-Syafi’iyyah Al-Kubra juz : 9 halaman : 40 tentang menafikan arah dari Allah Swt sebagai bantahan atas Ibnu Taimiyyah)



3. Di dalam kitab Ittihaafus saadatil muttaqin juz : 2 halaman ; 24, imam Syafi’I berkata :



إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكانَ لا يجوز عليه التغييرُ في ذاته ولا التبديل في صفاته"

“ Sesungguhnya Allah Ta’ala ada dan tanpa tempat, lalu Allah menciptakan tempat sedangkan Allah masih atas sifat azaliyah-Nya sebagaimana wujud-Nya sebelum menciptakan tempat. Mustahil bagi Allah perubahan di dalam Dzat-Nya dan juga pergantian di dalam sifat-sifat-Nya “.



4. Di dalam kitab Syarh Al-Fiqhu Al-Akbar halaman : 52, imam Syafi’I berkata yang merupakan keseluruhan pendapat beliau tentang Tauhid :



من انتهض لمعرفة مدبره فانتهى إلى موجود ينتهي إليه فكره فهو مشبه وإن اطمأن إلى العدم الصرف فهو معطل وإن اطمأن لموجود واعترف بالعجز عن إدراكه فهو موحد



“ Barangsiapa yang bergerak untuk mengetahui Allah Sang Maha Pengatur-Nya hingga pikirannya sampai pada hal yang wujud, maka ia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dgn makhluq). Dan jika ia merasa tenang dengan suatu hal yang tiada, maka ia adalah mu’aththil (meniadakan sifat Allah Swt). Dan jika ia merasa tenang pada kwujudan Allah Swt dan mengakui ketidak mampuan untuk memahaminya, maka ia adalah muwahhid (orang yang mengesakan Allah Swt) “.



Sungguh imam Syafi’I begitu jeli dan luas pemahamannya akan hal ini, beliau sungguh telah mengambil dari ayat-ayat Allah Swt dalam Al-Quran :



- {لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ } [سورة الشورى]

“ Tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai Allah “

- فَلاَ تَضْرِبُواْ لِلّهِ الأَمْثَالَ } [سورة النحل]

“ Janganlah kalian membuat perumpamaan-perumpoamaan bagi Allah Swt “

- :{هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا } [سورة مريم]

“ Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia ? “



Semua ini membuktikan bahwa imam Syafi’I Ra mensucikan Allah Swt dan sifat-sifat-Nya dari apa yang terlintas dalam pikiran berupa makna-makna jisim / fisik seperti duduk, dibatasi dengan arah, tempat, gerakan dan diam serta yang semisalnya dan inilah aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah.

Ibnu Abdillah Al-Katibiy

Pendapat Para Imam Mengenai Sampainya Pahala Bacaan Qur’an Kepada Mayyit

Syarah Shohih Muslim lil Imam Nawawi, penjelasan hadits no 1672
وحدثنا محمد بن عبد الله بن نمير حدثنا محمد بن بشر حدثنا هشام عن أبيه عن عائشة أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يارسول الله إن أمي افتلتت نفسها ولم توص و أظنها لو تكلمت تصدقت افلها أجر إن تصدقت عنها؟ قال : نعم .
قال النواوي : وفى هذالحديث أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو على كذالك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء و قضاء الدين الواردة فى الجميع و يصح الحج عن الميت اذا كان حج الاسلام و كذا اذا وصى بحج التطوع على الاصح عندنا و اختلف العلماء فى الصوم اذا مات وعليه صوم فالراجح جوازه عنه للاحاديث الصحيحة فيه و المشهور فى مذهبنا أن قراءة القرأن لا يصله ثوابها و قال جماعة من أصحابنا يصله ثوابها وبه قال أحمد بن حنبل و أما الصلاة وسائر الطاعات فلا تصله عندنا ولا عند الجمهور وقال أحمد يصله ثواب الجميع كالحج

dari A’isyah, bahwasanya ada seorang lelaki mendatangi Nabi S.A.W dan berkata, Ya Rasulallah, sesungguhnya ibuku telah mati, dan dia tidak memberikan wasiyat, dan aku menyangkanya, apabila dia berbicara dia akan bersedekah, apakah dia akan mendapakat pahala bila aku bersedekah atasnya? Nabi menjawab : Na’am (iya).

Syarah haditsnya : Imam Nawawi berkata : dan di dalam hadits ini, bahwasanya bersedekah atas nama mayit ini bisa memberi manfaat kepada mayit dan pahala sedekahnya bisa sampai padanya, dan demikianlah sesuai dengan kesepakatan para ulama, dan juga ulama bersepakat atas sampainya doa, membayar hutang yang telah terwarid di dalam kesemuanya. Dan sah juga menghajikan haji atas mayit apabila hajinya itu haji islam dan begitu juga sah apabila mayit mewasiyatkan agar dihajikan dengan haji sunnah, ini menurut pendapat yang lebih shah menurut kami. Dan ulama berbeda pendapat di dalam masalah puasa, apabila seseorang mati dan dia masih mempunyai tanggungan puasa, maka pendapat yang rojih (unggul) itu bolehnya berpuasa atas nama mayit karena adanya hadits-hadits yang shohih, dan yang masyhub di madzhab kami bahwa bacaan alquran tidak sampai pahalanya kepada mayit, dan berkata sekelompok ashab kami bahwa pahala bacaan alquran bisa sampai kepada mayit, dan dengan pendapat sampainya pahala bacaan alquran, imam Ahmad bin Hanbal telah berpendapat. Adapun sholat dan semua bentuk amal keta’atan maka menurut pendapat kami dan pendapat jumhur ulama pahalanya tidak sampai kepada mayyit, dan imam Ahmad berkata, pahala semua bentuk keta’atan bisa sampai kepada mayyit sebagaimana pahala haji.

Hujjah 2
قال شيخ الاسلام الامام زكريا الانصاري : إن مشهور المذهب أي في تلاوة القرأن محمول على ما إذا قرأ لابحضرة الميت ولم ينو الثواب له أو نواه ولم يدع (حكم الشر يعة الاسلامية في مأتم الاربعين ص ٤٣)

syaikhul islam Imam Zakariya Al Anshori : Sesungguhnya pendapat masyhur madzhab (Asyafi’i) di dalam masalah bacan alqur’an itu di kondisikan apabila membacanya itu tidak di hadapan mayit (kuburnya) dan tidak niat memberikan pahala bacaan alquran itu kepada mayit atau berniat memberikan pahala bacaan tetapi tidak mendoakan (Hukmussyari’ah al islamiyyah fi ma’tamil arba’in hal 43).
والقول المذكور مبني على عمل الامام الشافعي فإنه كان يزور قبر الامام الليث بن سعد ثم يتلو الاذكار والقران الكريم : وقد تواتر أن الشافعي زار الليث بن سعد و أثنى وقرأ عنده ختمة و قال أرجو أن تدوم فكان الامر كذالك (الذخيرة الثمنية ص ٦٤

perkataan tersebut (Pendapatnya Imam Zakaria Al Anshori, itu di dasarkan atas perilaku Imam Syafi’i, bahwasanya Imam Syafi’i menziarahi Makam Imam Allayts bin Sa’ad kemudian melantunkan dzikir-dzikir dan Alqur’an, dan sungguh telah berkali-kali, bahwasanya Imam Syafii menziarahi Allayts bin Sa’ad, memujinya dan membaca (alquran) dengan sekali khataman, dan beliau berkata : Aku berharap ini di langgengkan, dan perkara itu demikian adanya (adzakhiroh atsamaniyyah hal 64)
وفى مناسبة أخرى قال الامام الشافعي : ويستحب أن يقرأ عنده شيئ من القرأن ، وإن ختموا القرأن كله كان حسنا (دليل الفالحين ج ٦ ص ١٠٣)

di kesempatan lain, Imam Syafi’i berkata : dan di anjurkan di sisinya (qubur) di bacakan bacaan dari Alquran, maka apabila mereka mengkhatamkan alquran semuanya maka hal itu lebih bagus (dalilul falihin juz 6 hal 103)

Hujjah 3
قال الامام النواوي : فالاختيار أن يقول القارئ بعد فرغه : اللهم اوصل ثواب ماقرأته إلى فلان (الأذكار ص ١٥٦)

berkata Imam Annawawi : Maka pendapat yang di pilih, orang yang membaca Alquran setelah selesai membacanya dia berdoa : Ya Allah sampaikanlah pahala dari apa-apa yang ku baca kepada si fulan (Al Adzkar hal 156)
tambahan : قال الشوكاني : وقال في شرح الكنز إن الأنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة كان او صوما او حجا او صدقة اوقرأة قرأن او غير ذلك من جميع أنواع البر،ويصل ذلك إلى الميت و ينفعه عند أهل السنة
. نيل الاوطار ٤/١٤٢

Imam Asyaukani berkata menuqil dari Syrah kitab alkanzu : bahwasanya manusia itu bisa menjadikan pahala amalnya itu untuk orang lain, baik berupa sholat, puasa, haji, sodakoh atau bacaan alqur’an atau selain dari itu semua yang berupa berbagai macam amal kebaikan, dan pahalanya itu semua bisa sampai kepada mayit dan bisa bermanfaat bagi mayit, demikian ini menurut ahlissunnah (naylul author juz 4 hal 142)

berbagai riwayat diatas, baik dari Imam Ahmad bin Hanbal maupun Imam Syafi’i membuktikan bahwasanya qiro’ah bacaan alquran untuk mayyit bukanlah amal yang sia-sia, dan begitulah pendapat Ahlissunnah, lalu masih pantas mengaku ahlissunnah kah orang-orang yang mengingkarinya?

Doa Qunut di Shalat Subuh (fiqih cabang)

Masalah Qunut pada sholat shubuh termasuk persoalan-persoalan fiqih cabang yang tidak sepatutnya menjadikan kaum muslim terpecah belah dan saling bermusuhan karenanya. Dalam menjelaskan masalah ini, para ahli fiqih berbeda pendapat tentangnya.

Para ulama madzhab Syafi’i dan madzhab Maliki Sunnah. Sementara, para ulama madzhab Hanafi dan Madzhab Hambali berpendapat tidak ada qunut pada shalat subuh.

Imam Nawawi berkata, “Kketahuilah bahwa qunut pada shalat subuh itu disyariatkan menurut madzhab kami. Hukumnya sunnah muakkad, karena hadis yang diriwayatkan oleh Annas bin Malik Ra,

مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا

“Rasulullah Saw senantiasa melakukan qunut pada shalat subuh sampai Beliau meninggalkan dunia”
(HR. Ahmad, Musnad Ahmad, vol. III, hal 162; Abdurrazaq, Mushannaf Abdurrazzaq, vol. III, hlm. 110; Daraquthni, Sunan Daruquthni, vol. II, hlm. 39; dan disebutkan oleh Al-Haitsani di dalam Majma’ Al-Zawaid, vol. II, hlm. 139; serta Hakim di dalam Al-arba’in, dan dia berkata, “Hadits shahih; para periwatnya seluruhnya adalah orang-orang yang tsiqah.”)

Mereka berkata seandainya meninggalkannya, shalatnya tidak batal. Akan tetapi, ia harus melakukan sujud sahwi, baik ia meninggalkannya dengan sengaja atau karena lupa.”

Berkenaan dengan hukum qunut shalat subuh, banyak perkataan-perkataan dan bentuk-bentuk qunut yang dikutip dari sebagian sahabat dan kalangan tabi’in. Di antaranya adalah pendapat Ali bin Ziyad uang menyatakan wajib melakukan qunut pada shalat subuh. Jadi apabila dia meninggalkannya, shalatnya batal.
Dan boleh dilakukan sebelum ruku’ atau sesudahnya pada roka’at kedua. Akan tetapi, yang disunnahkan dan lebih utama adalah melakukannya sebelum ruku’ setelah selesai membaca ayat, tanpa bertakbir sebelumnya. Hal itu, karena padanya terkandung unsur toleransi kepada orang yang masbuq. Tidak dibedakan antaranya dengan dua rukun shalat (yang ditandai dengan takbir). Dan qunut telah menjadi ketetapan yang diamalkan pada zaman Umar Ra dengan kehadiran para sahabat.

Qadhi Abdul Wahhab al-Baghdadi berkata, “Diriwayatkan dari Abu Raja Al-Atharidi bahwa dia berkata, “Pada awalnya qunut itu dilakukan setelah ruku’. Lalu Umar menjadikannya sebelum ruku’ agar orang yang mengejar shalat (jama’ah) bisa mendapatnkannya. Dan diriwayatkan bahwa golongan Muhajirin dan Anshar meminta hal itu kepada Utsman. Dia pun menjadikannya sebelum ruku’ karena didalam hal itu terdapat faidah yang tidak didapatkan apabila dilakukan sesudahnya, yaitu yang tidak didapatkan apabila dilakukan sesudahnya, yaitu posisi berdiri yang lama sehingga orang yang terlambat datang bisa mendapatkan raka’at. Maka sebelum ruku’ lebih utama dengan alasan itu, terlebih lagi pada shalat subuh.

Menjadi rajih dan kuat pendapat Madzhab Syafi’i mengenai qunut karena kuatnya dalil-dalil mereka sebagai berikut:

• Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra, dia berkata, “Rasulullah Saw apabila mengangkat kepalanya dari ruku’ pada saat shalat subuh di raka’at yang kedua, beliau pun berdo’a dengan do’a ini: “Ya Allah, tunjukilah aku di dalam golongan orang-orang yang Engkau beri petunjuk....(hingga akhir).” Dalam riwayat Baihaqi terdapat tambahan ungkapan, “Maka, bagi-Mu pujian atas apa yang Engkau tetapkan.” Dan, Thabrani menambahkan, “Dan tidak mulia orang yang menentang-Mu.”
HR. Hakim, Al-Mustadrak, vol. IV, hlm. 298; Baihaqi, Al-Sunan Ash-Shugra vol. I, hlm. 276; Thabrani, Al-Mu’jam Al-Awsath, vol. VII, hlm. 232; dan disebutkan oleh Ash-Sha’ani, Subul Al-Salam, vol. I, hlm. 186-187

• Hadits Anas bin Kalik Ra bahwa, “Rasulullah Saw senantiasa melakukan qunut pada sahalat subuh sampai beliau meninggalkan dunia.” ¹ Dan Annas ditanya, “Apakah Rasulullah Saw melakukan qunut pada shalat subuh?” Dia menjawab, “Benar.” Ditanyakan lagi kepadanya, “Apakah sebelum ruku’ atau setelah ruku’?” Dia menjawab, “Setelah ruku’.” ²... Lihat Selengkapnya
¹ HR. Ahmad, Musnad Ahmad, vol. III, hlm. 162; Abdurrazzaq, Mushannaf Abdurrazzaq, vol. III, hlm. 110; Daraquthni, Sunan Daraquthni, vol. II, hlm. 39; dan disebutkan oleh Al-Haitsami di dalam Majma’ Az-Zawaid vol. II, hlm. 139; serta Hakim di dalam Al-Arba’in, dan dia berkata, “Hadits Shahih; para periwayatnya seluruhnya adalah orang-orang yang Tsiqah.”
² HR. Muslim, Shahih Muslim, vol. !, hlm. 486; dan Abu Daud, Sunan Abu Daud, vol. II, hlm. 68

• Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Ra; dia berkata: “Demi Allah, aku adalah orang yang paling dekat diantara kalian dalam shalat dengan Rasulullah Saw”. Dan Abu Hurairah melakukan qunut pada raka’at terakhir shalat subuh setelah dia mengucapkan sami‘allahu liman hamidah, berdoa bagi orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, dan melaknat orang-orang kafir.
HR. Baihaqi, As-Sunan Ash-Shugra, vol. I, hlm. 277, cet. Maktabah Al-Dar

• Dari Abdullah bin Abbas Ra, dia berkata, “Rasulullah Saw mengajarkan kepada kami doa yang kami panjatkan didalam qunut pada shalat subuh:
“Ya Allah berilah petunjuk kepada kami di dalam golongan orang yang Engkau berikan petunjuk; sehatkan kami dalam kelompok orang yang Engkau beri kesehatan; peliharalah kami dalam golongan orang yang Engkau pelihara; limpahkan berkah bagi kami pada apa yang Engkau berikan; dan lindungilah kami pada apa yang Engkau memutuskan dan tidak diputuskan atas-Mu; tidak menjadi hina orang yang membela-Mu; Mahasuci Engkau, Tuhan kami, dan Mahatinggi.”
HR. Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, vol. II, hlm. 210, cet. Maktabah Al-Baz

• Dan pada hadits, “Rasulullah Saw apabila mengangkat kepalanya dari raka’at yang kedua, Beliau pun mengangkat kedua tangan dan berdoa dengan do’a ini: Ya Allah, tunjukilah aku di dalam golongan orang-orang yang Engkau beri petunjuk.” Didalam riwayat lain, “Bahwa apabila Beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ pada shalat subuh di raka’at yang terakhir, Beliau melakukan qunut.”
Imam Syuyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, vol. I, hlm. 157, cet. Thair al-Ilmi. Syaikh al-Albani berkata, “Hadits shahih.” Lihat, Al-Albani, Shahih al-Jami’, 4730.

Adapun lafaz doa qunut, maka yang dipilih adalah apa yang diriwayatkan dari Hasan bin Ali Ra, dia berkata, “Rasulullah Saw mengajarkan kepadaku beberapa kalimat yang aku ucapkan pada shalat witir,

“Allahummah dina fiman hadait, Wa afina fiman afait, Wa tawal lana fiman tawal lait, Wawaba riklana fi ma a’tait, Waqina syar rama qadait, innaka taqdi wala yukda alaik, inna hu laa yazillu man walait, Taba rakta rabbana wata alait.”

“Ya Allah berilah petunjuk kepada kami di dalam golongan orang yang Engkau berikan petunjuk; sehatkan kami dalam kelompok orang yang Engkau beri kesehatan; peliharalah kami dalam golongan orang yang Engkau pelihara; limpahkan berkah bagi kami pada apa yang Engkau berikan; dan lindungilah kami pada apa yang Engkau memutuskan dan tidak diputuskan atas-Mu; tidak menjadi hina orang yang membela-Mu; Mahasuci Engkau, Tuhan kami, dan Mahatinggi.”...
Para ulama menambahkan padanya,
“Wala yaizzu man adait”,
“Dan tidak mulai orang-orang yang menentang-Mu,”
Serta:
“Falakal hamdu ala maa qadait astaghfirka wa atuubu ilaik”
“Maka, bagi-Mu pujian atas apa yang Engkau tetapkan; aku memohon ampun kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu”.
Sebelum :
“Taba rakta rabbana wata alait.”
“Mahasuci Engkau, Tuhan kami, dan Mahatinggi.”

Dalam Raudlah Ath-Thalibin, Imam Nawawi berkata, ”Para sahabat kami (ulama madzhab) berkata, “Tidak mengapa dengan tambahan ini.” Abu Hamid, al-Bandaniji, dan lain-lain berkata dalam Nihayat Al-Muhtaj, vol. I, hlm. 503 mengatakan, “Sunnah.”. Dan disunnahkan agar dia mengucapkan setelah doa tersebut, “ Ya Allah, limpahkan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, serta salam sejahtera”. Dan itu menurut pendapat yang shahih dan Masyhur.

Berdasarkan keterangan yang telah dikemukakan, bahwa pendapat Madzhab Syafi’i kuat dan rajih, yaitu qunut di dalam shalat subuh itu sunnah; disunnahkan bagi orang yang meninggalkannya agar melakukan sujud sahwi untuk menggantikannya. Akan tetapi, tidak batal shalat dengan meninggalkannya. Dan Allah Swt Maha Tinggi lagi Maha Mengetahui.

(dikutip dari: Al-Bayan Al-Qawim li Tashih Ba’dhi Al-Mufahim, Syekh Ali Jumu’ah, Mufti Mesir)

Jari Telunjuk saat Sholat

Kapan Waktu yang tepat mengangkat Jari Telunjuk saat Sholat?
Pernah suatu ketika saya jumpai orang sholat ketika dalam tasyahhud, dia mengangkat Jari Telunjuknya persis bersamaan pada awal bacaan tahiyat (Attahiyyatul.... dst) , persis ketika baru saja duduk tasyahhud, atau mungkin dia sudah mengangkat Jari Telunjuk sebelum membaca tahiyyat.

Sebenarnya Kapan waktu yang tepat untuk mengangkat Jari Telunjuk ketika Sholat? berikut ini akan dijelaskan:

Dalam shohih Muslim II:890 meriwayatkan hadits dari Jabir ra. menyebutkan bahwa “Rasulallah saw., bersabda seraya (berisyarat) dengan jari telunjuknya. Beliau mengangkatnya ke langit dan melemparkan (mengisyaratkan kebawah) ke manusia, ‘Allahumma isyhad, Allahumma isyhad (ya Allah saksikanlah)’. Beliau mengucapkannya tiga kali”.


Telunjuk disebut juga syahid (saksi), sebab jika manusia mengucapkan syahadat, dia berisyarat dengan telunjuk tersebut. Nabi saw. sendiri jika mengatakan “Asyhadu” atau “Allahumma isyhad” (suka) berisyarat dengan telunjuknya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Darimi I:314-315 dan Imam Baihaqi dalam kitab Ma’rifat As-Sunnah wal Al-Atsar III:51, hadits shohih.

Dalam sunan Baihaqi II:133 disebutkan: “Rasulallah saw. melakukan itu ketika men-tauhid-kan Tuhannya yang Mahamulia dan Mahaluhur”, yakni ketika menetapkan tauhid dengan kata-kata illallah (hanya Allah) dalam syahadat. Dalam riwayat lain, Imam Baihaqi II:133 dengan sanad yang sama dari Khilaf bin Ima’ bin Ruhdhah Al-Ghiffari dengan redaksi, “Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. hanya menghendaki dengan (isyarat) itu adalah (ke) tauhidan (Meng-Esa-kan Allah swt.)”, sedangkan ungkapan ketauhidan terdapat dalam kalimat syahadat itu. Al-Hafidh Al-Haitsami mengatakan dalam Mujma’ Al-Zawaid II:140, “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara panjang lebar…”.

Hal ini juga didasarkan kepada hadits Abdullah bin Umar ra.; “Dan (beliau saw.) mengangkat jari tangan kanannya yang dekat ke ibu jari lalu berdo’a”. (HR.Imam Muslim dan Imam Baihaqi II:130, serta perawi lainnya). Do’a yang dimaksud hadits tersebut ialah membaca sholawat kepada Nabi saw. dan do’a-do’a lainnya sebelum mengucapkan salam.

Imam Al-Baihaqi dalam Syarh As-Sunnah III:177 mengatakan “Yang dipilih oleh ahli ilmu dari kalangan sahabat dan tabi’in serta orang-orang setelah mereka adalah berisyarat dengan jari telunjuk (tangan) kanan ketika mengucapkan tahlil (la ilaaha illallah) dan (mulai) mengisyarat- kannya pada kata illallah….”.

Berdasarkan hadits-hadits shohih tersebut, disimpulkan bahwa waktu untuk mengangkat dan mengisyaratkan (jari) telunjuk, yaitu ketika mengucapkan kalimat syahadat yakni Asyhadu an laa ilaaha illallah dan tidak menurunkannya sampai mengucapkan salam. Para ulama telah melakukan ijtihad dimana tempat yang tepat untuk mengangkat telunjuk pada kalimat syahadat itu. Apakah sejak dimulainya tasyahhud atau ditengah-tengahnya karena di dalam hadits-hadits tersebut tidak ditentukan tempatnya yang tepat.

Menurut madzhab Syafi’i, bahwa tempat mengangkat telunjuk itu sebaiknya apabila telah sampai pada hamzah illallah, sebagaimana yang tersebut dalam kitab Zubad karangan Ibnu Ruslan: “Ketika sampai pada illallah, maka angkatlah jari telunjukmu untuk mentauhidkan zat yang engkau sembah”.

Menurut madzhab Hanafi, bahwa mengangkat telunjuk itu adalah diketika Laa ilaaha dan meletak kan telunjuk diketika illallah. Menurut pendapat ini, mengangkat telunjuk adalah sebagai isyarat kepada penafian uluhiyyah (ketuhanan) dari yang selain Allah, sedangkan ketika meletakkan telunjuk adalah sebagai isyarat kepada penetapan uluhiyyah hanya untuk Allah semata.

Menurut madzhab Hanbali, bahwa mengangkat telunjuk itu adalah disetiap menyebut lafdhul jalalah pada tasyahhud dan do’a sesudah tasyahhud.

wallahua'lam bisshowab

Aqidah Ahlus Sunah Wal Jama'ah

Belakangan ini banyak golongan yang mengaku/mengklaim sebagai Islam Ahlussunnah wal Jama'ah, bahkan ada sebagian orang yang sangat ngotot mengklaim dirinya sebagai Ahlussunnah wal jamaa'ah akan tetapi tidak faham seperti apa Ahlussunnah wal jama'ah itu sesungguhnya. Sebagian bahkan tidak sadar bahwa keyakinan dan amalannya bertentangan dengan i'tiqod Ahlussunnah wal Jama'ah. Tidak jarang ketidak fahaman akan Ahlussunnah wal Jama'ah ini lantas menimbulkan polemik yang semata2 disebabkan ketidak fahaman orang tersebut akan apa dan bagaimana Islam Ahlussunnah wal Jama'ah tersebut sebenarnya.

lantas seperti apa sih ajaran Ahlussunnah wal jama'ah itu sebenarnya?

Dengan tujuan memperkenalkan Ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah kepada orang awam di dunia maya dan mungkin bisa menjadi tanbiiHul Ghoofilien bagi yang sudah tahu, maka kami berfikir semoga artikel yang berisi Penjelasan akan I'tiqod/ keyakinan versi Ahlussunnah wal Jama'ah bisa bermanfaat bagi kita sekalian. Dalam upaya memberi garis pedoman bagi pembaca yang belum mengetahui hal ini sebelumnya dalam mengenali ajaran Islam yang berkembang di masyarakat muslim (Khususnya Indonesia)
Kiranya Allah SWt meridhoi hal ini
Aamien.

Berikut ini adalah ikhtisar aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagaimana dihimpun oleh KH Sirajuddin Abbas dalam kitabnya I’tiqod Ahlus Sunnah wal Jamaah.

1. Iman ialah mengikrarkan dengan lisan dan membenarkan dengan hati. Kemudian iman yang sempurna ialah mengikrarkan dengan lisan, membenarkan dengan hati dan mengerjakan dengan anggota badan.

2. Tuhan itu ada, namanya Allah, dan ada 99 nama bagi Allah.

3. Tuhan mempunyai sifat banyak sekali, yang boleh disimpulkan perkataan: Tuhan mempunyai sifat-sifat Jalal (kebesaran), Jamal (keindahan), dan Kamal (kesempurnaan)

4. Sifat yang wajib diketahui oleh sekalian mukmin yang baligh berakal adalah 20 sifat; 20 sifat yang wajib dan mustahil (tidak mungkin) ada bagi-Nya. Dan satu lagi sifat yang harus ada bagi-Nya, yaitu :
a. Wujud artinya ada, mustahil Dia tidak ada.
b. Qidam artinya tidak ada permulaan dalam wujud-Nya, mustahil ada-Nya permulaan.
c. Baqa’ artinya tidak berkesudahan ada-Nya, mustahil ada-Nya berkesudahan.
d. Mukhalafatuhu ta’ala lilhawaditsi artinya Dia berlainan dengan segala makhluk, mustahil Dia serupa dengan makhluk-Nya.
e. Qiyamuhu binafsihi artinya Dia berdiri sendiri, bukan berdiri di atas zat lain, mustahil Dia berdiri di atas zat lain.
f. Wahdaniyah artinya Dia Esa, mustahil Dia banyak.
g. Qudrat artinya kuasa, mustahil Dia tidak kuasa.
h. Iradat artinya menentukan sendiri dengan kehendak-Nya, mustahil Dia dipaksa.
i. Ilmu artinya Dia tahu, mustahil Dia tidak tahu (bodoh).
j. Hayat artinya hidup, mustahil Dia mati.
k. Sama’ artinya mendengar, mustahil Dia tidak mendengar (tuli).
l. Bashar artinya melihat, mustahil Dia buta.
m. Kalam artinya berkata, mustahil Dia bisu.
n. Kaunuhu Qadiran artinya Dia dalam keadaan berkuasa mustahil Dia dalam keadaan tidak berkuasa.
o. Kaunuhu muridan artinya Dia dalam keadaan mempunyai iradat, mustahil Dia dalam keadaan yang tidak mempunyai iradat.
p. Kaunuhu ‘Aliman artinya Dia dalam keadaan tahu, mustahil Dia dalam keadaan tidak tahu.
q. Kaunuhu Hayyan artinya Dia dalam keadaan hidup mustahil Dia dalam keadaan mati.
r. Kaunuhu Sami’an artinya Dia dalam keadaan mendengar, mustahil Dia dalam keadaan tidak mendengar.
s. Kaunuhu Bashiran artinya Dia dalam keadaan melihat, mustahil Dia dalam keadaan tidak melihat.
t. Kaunuhu Mutakalliman artinya Dia dalam keadaan berkata, mustahil Dia dalam keadaan tidak berkata.
u. Kemudian ditambah dengan sifat jaiz bagi Alloh, yaitu Alloh boleh melakukan sesuatu dan boleh tidak melakukannya.
Demikian 20 sifat yang wajib (mesti ada) bagi Allah SWT, 20 sifat yang mustahil (tidak mungkin ada bagi Allah SWT), dan satu sifat jaiz bagi Alloh.


5. Wajib dipercayai bahwa Malaikat ada, mereka banyak. Tetapi yang wajib dipercayai secara terperinci hanyalah 10 malaikat saja.


6. Wajib dipercayai adanya kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada Rasul-rasul-Nya untuk disampaikan kepada ummatnya. Kitab-kitab itu banyak, tetapi yang wajib diketahui secara terperinci adalah 4 (empat), yaitu:
a. Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa as.
b. Kitab Zabur yang diturunkan kpada Nabi Daud as.
c. Kitab Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa as.
d. Kitab Al-Qur’an yang diturunkan kpada Nabi Muhammad saw.


7. Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah mempercayai sekalian rasul-rasul yang diutus Allah SWT kepada manusia, mereka banyak, ada yang diterangkan Allah SWT kepada manusia dan ada yang tidak diterangkan. Tetapi yang wajib diketahui secara terperinci adalah 25 rasul yang dinyatakan dalam Al-Qur’an.

8. Setiap orang Islam wajib mempercayai adanya hari akhirat. Permulaan hari akhirat itu bagi setiap manusia adalah sesudah mati, yaitu:
a. Setiap orang akan mati apabila jangka usianya sudah habis.
b. Setelah mati lalu dikuburkan. Di dalam kuburnya akan ditanya: Siapa Tuhannya, siapa Nabi, Apa kitab suci, dan lain-lain. Pertanyaan tersebut diajukan oleh malaikat Mungkar dan Nakir.
c. Orang yang jahat dan ahli ma’siat akan disiksa di dalam kubur.
d. Kemudian pada suatu waktu akan terjadi kiamat besar, dunia akan hancur luluh dan semua manusia bahkan semua makhluk di atas dunia akan mati dan hancur pula.
e. Kemudianpada suatu waktu pula akan dibunyikan terompet sehingga seluruh makhluk yang mati akan bangkit kembali, berkumpul di padang mahsyar.
f. Akan diadakan hisab, yaitu perhitungan dosa dan pahala.
g. Di Padang Mahsyar akan ada syafaat (pertolongan) dari Nabi Muhammad SAW dengan seizin Allah SWT.
h. Akan ada timbangan untuk menimbang dosa dan pahala.
i. Akan ada titian (jembatan) Shirathal Mustaqim yang akan dibentangkan di atas neraka yang harus dilalui oleh sekalian manusia.
j. Akan ada telaga Kautsar kepunyaan Nabi Muhammad SAW di dalam surga, di mana orang-orang yang beriman akan dapat minum.
k. Yang lulus ujDian dalam meniti Shirathal Mustaqim akan langsung masuk surga Jannatun Na’im sementara yang tidak lulus akan tergelincir masuk ke dalam neraka.
l. Orang yang baik akan langsung masuk surga dan kekal selama-lamanya.
m. Orang yang mu’min yang berdosa dan mati sebelum bertaubat, akan masuk ke dalam neraka buat sementara dan setelah menjalani hukuman akan dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam surga buat selama-lamanya.
n. Orang kafir langsung masuk neraka dan kekal selama-lamanya.
o. Orang mu’min yang baik-baik akan diberi ni’mat apa saja yang dia sukai, dan akan diberikan ni’mat lagi yang paling lezat yakni akan melihat Allah SWT.
Demikian secara ringkas tentang hari akhirat.
9. Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah mempercayai adanya Qada’ dan Qadar yaitu takdir ilahi, sebagai berikut:
a. Sekalian yang terjadi di dunia ini sudah ada qadla’ Allah SWT yakni hukum Allah SWT dalam azali, bahwa hal itu akan terjadi.
b. Sekalian yang terjadi di alam ini buruk atau baiknya semuanya dijadikan Allah SWT. Pendeknya nasib baik dan buruk semuanya dari Allah SWT dan kita umat manusia hanaya menjalani takdir saja.
c. Yang ada bagi manusia hanya kasab, ikhtiar dan usaha. Manusia wajib berikhtiar dan berusaha.
d. Pahala yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia adalah kaena karunia-Nya dan hukuman yang diberikan kepada manusia adalah karena keadilan-Nya.
Demikian kepercayaan orang mu’min menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah yang bertalDian dengan rukun iman yang (6) enam, yaitu : percaya kepada Allah SWT, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari qiyamat dan qadla’ qadar-Nya.

10. Allah SWT bersama nama-Nya dan sifat-Nya semuanya qadim, karena nama dan sifat itu berdiri di atas zat yang qadim, maka dengan demikian semua nama dan sifat Allah SWT adalah qadim, tidak ada pemulaannya.
11. Al Quran adalah kalam Alloh yang qadim. Sedangkan apa yang tertulis dalam mushaf yang menggunakan huruf dan suara merupakan gambaran dari Al Quran yang qadim tersebut. Oleh karena itulah Al Quran disebut dengan qadim dan tidak boleh disebut makhluk.

12. Rizki sekalian manusia sudah ditaqdirkan dalam azal, tidak bertambah dan tidak berkurang, tetapi manusia diperintahkan untuk mencari rizki, diperintahkan untuk berusaha dan tidak boleh berpangku tangan menunggu saja.

13. Ajal setiap manusia sudah ada jangkanya oleh Allah SWT tidak dimajukan waktunya, juga tidak dapat ditunda walaupun sekejap mata. Tetapi manusia diperintahkan oleh Allah SWT untuk berobat kalau sakit, tidak boleh menunggu ajal saja.

14. Anak-anak orang kafir yang mati kecil (bayi) masuk surga.

15. Do’a orang mu’min memberi manfaat bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain yang dido’akan.

16. Pahala sedekah, wakaf dan pahala bacaan (tahlil, shalawat dan bacaan Al-Qur’an) boleh dihadiahkan kepada orang yang telah mati dan sampai kepada mereka kalau dimintakan kepada Alloh untuk menyampaikannya.

17. Ziarah kubur, khususnya kubur ibu bapak, ulama’-ulama’, wali-wali, dan orang-orang syahid, lebih-lebih maqam Rasulullah SAW, dan maqam sahabat-sahabat beliau adalah sunat hukumnya, diberi pahala kalau dikerjakan.

18. Berdo’a kepada Allah SWT langsung atau berdo’a dengan memakai wasilah (bertawassul) adalah sunat hukumnya, diberi pahala kalau mengerjakannya.

19. Masjid di seluruh dunia sama derajatnya, kecuali tiga buah masjid, lebih tinggi derajatnya dari yang lain, yaitu masjid-masjid di Makkah, Madinah dan Baitul Muqaddas. Berjalan (musafir) untuk beribadah ke masjid yang tiga tersebut adalah ibadah hukumnya, jika dikerjakan mendapat pahala.
20. Seluruh manusia adalah anak cucu nabi Adam. Adam berasal dari tanah. Iblis dan jin dijadikan dari api, tetapi malaikat-malaikat dijadikan dari cahaya.

21. Bumi dan langit ada. Diapa yang mengatakan langit tidak ada Dia keluar dari lingkungan kaum Ahlussunnah wal Jama’ah.

22. Nama Tuhan tidak boleh dibuat-buat oleh manusia, tetapi harus seperti yang telah ditetapkan Allah SWT dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW yang shahih. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmizi dan Imam Bukhari, nama Allah SWT itu 99 banyaknya. Siapa yang menghafalkannya di luar kepala akan dimasukkan ke dalam surga (lihat shahih Bukhari juz IV bagDian 195 dan shahih Tirmidzi juz XIII, halaman 37-42). Kita umat Islam boleh berdo’a dan boleh menyeru dengan salah satu atau semua nama-Nya yang 99 ini, umpamanya Ya Lathif, Ya Rahman, Ya Rahim, Ya Wadud dan sebagainya.

23. Kalau terdapat ayat-ayat suci Al-Qur’an yang seolah-olah menyatakan bahwa Allah SWT bertubuh seperti manusia, atau bertangan seperti manusia, atau bermuka serupa manusia, maka ulama’-ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah mentakwilkan atau menafsirkan ayat di atas secara majazi, yakni bukan menurut asal dari perkataan itu, sesudah itu diserahkan kepada Allah SWT apakah yang sebenarnya yang dimaksud oleh ayat tersebut. Misalnya ayat yang mengatakan bahwa Tuhan bermuka, maksudnya Dialah Dzat yang Qadim, yang tidak serupa dengan makhluk-Nya, kalau terdapat ayat mengatakan “Tuhan bertangan” maksudnya adalah bahwa “Tuhan berkuasa” karena tangan itu adalah alat kekuasaan.
Kalau dijumpai ayat yang mengatakan “Tuhan duduk di atas Arsy” maksudnya bahwa “Tuhan menguasai Arsy”. Ada lagi ayat dan hadits yang mengatakan “Tuhan turun” maka yang turun adalah rahmat-Nya, bukan batang tubuhnya sebab Allah SWT tidak berbatang tubuh. Jika dijumpai ayat mengatakan bahwa “Tuhan atau Allah SWT itu cahaya”, maka maksudnya adalah Allah SWT itu memberi cahaya, demikian seterusnya dengan ayat-ayat yang lain.
Hal ini dianggap sangat perlu agar kita tidak terperangkap ke dalam kekeliruan dalam memahami ayat-ayat suci Al-Qur’an. Juga agar termasuk orang-orang yang menyerupakan Allah SWT dengan makhluk-Nya atau golongan kaum Musyabbihah atau Muajssimah yang menerapkan adanya keserupaan Allah SWT dengan makhluk.
Dalam surat as Syura ayat 11 disebutkan sejelas-jelasnya bahwa Allah SWT tidak serupa dengan makhluk-Nya. Tetapi dalam mengartikan atau menta’wilkan ayat ini janganlah memakai sembarang ta’wil. Hendaknya diperhatikan kitab-kitab tafsir Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipercayai, seperti kitab tafsir At- Thabari, tafsir Qurthubi, tafsir Jalalain, tafsir Khazin, dan lain-lain sebagainya.

24. Bangkit sesudah mati hanya satu kali. Manusia mulanya tidak ada, kemudian lahir ke dunia kemudian mati. Lalu hidup kembali (bangkit) dari kematian setelah peniupan terompet dan berkumpul di padang Mahsyar sesuai dengan ayat Al-Qur’an pada surat Al Baqarah ayat 28.

25. Upah (pahala) yang Allah SWT berikan kepada oang-orang yang saleh bukanlah karena Allah SWT terpaksa untuk memberikannya dan bukan pula kewajiban Allah SWT untuk membalas jasa orang itu. Begitu juga hukuman bagi orang yang durhaka tidaklah Allah SWT terpaksa menghukumnya atau bukanlah kewajiban Allah SWT untuk menghukumnya, tidak. Allah SWT memberikan pahala kepada manusia dengan karunia-Nya dan menghukum dengan keadilan-Nya.

26. Allah SWT dapat dilihat oleh penduduk surga dengan mata kepala, bukan dengan mata hati saja. Tetapi tidak boleh berpersepsi bahwa Allah SWT berada dalam surga. Hanya kita yang bertempat dalam surga yang melihat-Nya.

27. Pada waktu di dunia tidak ada manusia dapat yang melihat Allah SWT kecuali Nabi Muhammad SAW, pada malam Mi’raj.

28. Mengutus rasul-rasul adalah karunia Allah SWT kepada hamba-Nya untuk menunjuki jalan yang lurus, bukanlah kewajiban Allah SWT untuk mengutus rasul-rasul-Nya.

29. Wajib diketahui dan diyakini oleh seluruh ummat Islam bahwa Nabi Muhammad SAW lahir di kota Makkah. Sesudah berusia 40 tahun diangkat menjadi rasul, lalu diturunkan kepada beliau ayat-ayat Al-Qur’an berturut-berturut selama 23 tahun. Sesudah 13 tahun menjadi rasul beliau pindah ke Madinah, menetap disitu sampai wafat. Beliau wafat sesudah melakukan tugas 23 tahun dalam usia 63 tahun. Makam Nabi Muhammad SAW berada di Madinah, dalam lingkungan Masjid Madinah sekarang.


30. Nabi Muhammad SAW adalah manusia serupa kita, bukan malaikat. Beliau makan, minum, tidur, sakit, nikah, mempunyai keluarga serupa manusia biasa. Akan tetapi kemanusiaan beliau luar biasa, rohaniyah dan jasmaniyah beliau luar biasa kuatnya, karena kepada beliau diturunkan wahyu ilahi, yang kalau diturunkan di atas bukit maka bukit tersebut akan hancur lebur. Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah menganggap bahwa Nabi Muhammad SAW walaupun beliau serupa manusia biasa tetapi beliau adalah sayyidul khalaiq, makhluk Allah SWT yang termulia di antara makhluk yang lain.

31. Silsilah nenek moyang Nabi Muhammad SAW adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab bin Marrah bin Ka’ab bin Luai bin Galib bin Fihir bin Malik bin Nadlar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudlar bin Ma’ad bin Adnan. Dari pihak ibu adalah ; Muhammad bin Aminah binti Wahab bin Abdul Manaf bin Zahrah bin Kilab (nenek Nabi yang keenam dari pihak bapak).


32. Isteri-isteri Nabi Muhammad SAW dari mulai kawin sampai beliau wafat adalah: Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar, Ummu Salamah binti Abi Umayyah, Ummu Habibah binti Abi Sufyan, Saudah binti Zam’ah, Zainab binti Jahasy, Zainab binti Khuzaimah, Maimunah binti Harits, Juwairiyah binti Harits, dan Safiyah binti Hay. ra.

33. Putra-putri Nabi Muhammad SAW adalah : Zainab, Ruqayyah, Ummu Kalsum, Siti Fatimah, Qasim, Abdullah, dan Ibrahim. ra.

34. Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah SWT kepada seluruh umat manusia, tidak pandang suku, tidak pandang negeri dan tidak pandang agama.

35. Nabi Muhammad SAW Mi’raj ke langit melalui Baitul Muqaddas (Palestina) tanggal 27 Rajab dan kembali malam itu juga ke dunia membawa perintah shalat lima kali sehari semalam. Nabi saw. mi’raj dengan badan dan ruh beliau.

36. Nabi Muhammad SAW terdahulu diangkat menjadi nabi dibanding nabi-nabi yang lain, yaitu ketika Nabi Adam masih terbaring dalam surga sebelum dineri jiwa. Karena itu, beliau (Nabi Muhammad SAW) adalah nabi yang paling dahulu diangkat dan yang paling akhir lahir ke dunia.

37. Nabi Muhammad SAW menerima syafaat (bantuan) nanti di akhirat kepada seluruh manusia. Syafaat (bantuan) itu bermacam-macam, diantaranya menyegerakan proses penghisaban di padang Mahsyar.

38. Sesudah Nabi Muhammad SAW meninggal dunia, maka pengganti beliau yang sah adalah Sayyidina Abu Bakar ra. sebagai khalifah pertama, Sayyidin Umar bin Khattab ra. sebagai khalifah kedua, Sayyidina Utsman bin Affan ra. sebagai khalifah ketiga, dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. sebagai khalifah keempat.

39. Wajib diyakini bahwa yang paling mulia di antara makhluk Tuhan ialah Nabi Muhammad SAW, sesudah itu Rasul-rasul yang lain, lalu para Nabi, para Malaikat, barulah Muslimin yang lain.

40. Wajib diyakini bahwa sahabat Nabi Muhammad SAW yang paling mulia adalah Sayyidina Abu Bakar, sesudah itu Sayyidina Umar bin Khattab, sesudah itu Sayyidina Utsman bin Affan lalu Sayyidina Ali bin Abi Thalib, sesudah itu sahabat-sahabat yang sepuluh yang telah dikabarkan oleh Nabi Muhammad SAW akan masuk surga, yaitu 4 orang khalifah ditambah dengan Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abdurahman bin ‘Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, Sa’id bin Zaid, Abu Ubaidah, Amir bin Jarrah, sesudah itu sahabat-sahabat yang ikut Perang Badar, sesudah itu sahabat-sahabat yang ikut Perang Uhud, sesudah sahabat-sahabat yang ikut Bai’atur Ridlwan, lalu sekalian sahabat Nabi ra.

41. Dalam soal pertikaian dan peperangan yang terjadi antara para sahabat Nabi, seperti “Perang Jamal” antara Siti Aisyah dan Sayyidina Ali, “Perang Shifiin” antara Sayyidina Ali dengan Mu’awiyah, kaum Ahlussunnah wal Jama’ah menanggapi secara positif tidak banyak dibicarakan, tetapi dianggap bahwa mereka berijtihad menurut pendapat mereka masing-masing. Kalau ijtihad itu benar pada sisi Allah SWT mereka dapat pahala dua, tetapi kalau ijtihad mereka salah maka mereka mendapat pahala satu atas ijtihadnya itu.

42. Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah yakin, bahwa sekalian keluarga Nabi Muhammad SAW, khususnya Siti Aisyah Ummul Mu’minin yang dituduh berbuat kesalahan adalah bersih dari noda. Fitnah yang dilancakan kepada keluarga Nabi adalah fitnah yang dibuat-buat (QS an Nur ayat 11).

43. Kerasulan seorang rasul adalah karunia Allah SWT. Pangkat tersebut tidak bisa didapatkan dengan diusahakan, umpamanya dengan bersekolah atau bertapa dan lain-lain.

44. Rasul-rasul yang dibekali dengan mu’jizat, yaitu perbuatan yang ganjil yang diluar kemampuan manusia biasa, misalnya Nabi Ibrahim AS tidak tebakar dengan api, Nabi Isa AS dapat menghidupkan orang yang telah mati, Nabi Musa AS bisa nenjadikan tongkatnya menjadi ular, Nabi Muhammad SAW dengan kitab suci Al-Qur’an yang tidak dapat ditiru oleh orang-orang yang pandai, air keluar dari anak jari beliau, bulan dapat dibelah dua, matahari berhenti berjalan, dan lain sebagainya.

45. Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah meyakini adanya keramat. Keramat artinya pekerjaan yang ganjil yang di luar kebiasaan yang mampu dikerjakan oleh para wali Allah, ulama’-ulama’, orang-orang sholih, umpamanya makanan datang sendiri kepada Siti Mariam, ahli gua tidur selama 309 tahun tanpa rusak dagingnya.

46. Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang terakhir, tidak ada lagi Nabi sesudah beliau. Begitu juga pangkat kenabian dan kerasulan, begitu juga nabi-nabi pembantu tidak ada lagi sesudah Nabi Muhammad SAW. Siapa saja yang menda’wakan dirinya sebagai nabi atau rasul baik nabi bersendiri maupun untuk menjelaskan syari’at Nabi Muhammad SAW, maka orang itu pembohong yang wajib dilawan.

47. Wajib dipercayai adanya Arsy, yaitu suatu benda makhluk Allah SWT yang dijadikan dari nur, terletak di tempat yang tinggi dan mulia, yang tidak diketahui hakekatnya dan kebesarannya. Hanya Allah SWT yang mengetahui, kita hanya wajib mengimaninya.

48. Wajib diketahui adanya “Kursi Allah SWT” yaitu suatu benda makhluk Allah SWT yang bedekatan dan bertalDian dengan Arsy. Hakekat keberadaannya diserahkan kepada Allah SWT. Yang wajib kaum Ahlussunnah wal Jama’ah adalah mempercayainya.

49. Wajib dipercayai adanya Qalam, yaitu suatu benda yang dijadikan Allah SWT untuk ‘menuliskan’ segala sesuatu yang akan terjadi di Lauh Mahfudh. Sekalian yang terjadi di dunia ini sudah dituliskan dengan Qalam di Lauh Mahfudh terlebih dahulu.

50. Surga dan neraka bersama penduduknya akan kekal selama-lamanya, tidak akan habis. Keduanya dikekalkan Allah SWT agar yang berbuat baik merasakan selama-lamanya ni’mat pekerjaan dan yang berbuat dosa merasai selama-lamanya siksa atas pebuatannya.

51. Dosa itu, menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah, terbagi dua, ada dosa besar dan ada dosa kecil. Dosa besar itu ialah syirik (mempersekutukan Alloh) ini paling berat atau paling besar, membunuh manusia dengan tidak hak, makan riba/rente uang, lari dari medan perang (perang sabil), menjadi tukang sihir mendurhakai ibu bapak, berbuat zina, berbuat liwath, berdusta terhadap Nabi dan lain-lain sebagainya. Kalau dosa besar tidak dikerjakan, maka dosa-dosa kecil akan diampuni saja oleh Alloh. Dosa besar hanya dapat diampuni kalau si pembuatnya taubat kepada Alloh.

52. Orang mukmin bisa menjadi kafir kembali (riddah) dengan melakukan hal-hal di bawah ini :
a. Dalam i’tiqad :
i. Syak atau ragu atas adanya Tuhan.
ii. Syak atau ragu akan ke-Rasulan Nabi Muhammad Saw.
iii. Syak atau ragu bahwa Al-Qur’an itu wahyu Tuhan
iv. Syak atau ragu bahwa akan ada hari kiamat, hari akhirat, surga, neraka dan lain-lain sebagainya.
v. Syak atau ragu bahwa Nabi Muhammad Saw Isra’ Mi’raj dengan ruh dan jasad.
vi. Meng-i’tiqadkan bahwa Alloh tidak mempunyai sifat seperti ilmu, hayat, qidam baqa’, dan lain-lain.
vii. Meng-i’tiqadkan bahwa Alloh bertubuh serupa manusia.
viii. Menghalalkan pekerjaan yang telah sepakat ulama’ Islam mengharamkannya, seperti meyakini bahwa zina boleh baginya, berhenti puasa boleh baginya, membunuh orang boleh baginya, makan minum haram boleh baginya dan lain-lain sebagainya.
ix. Mengharamkan pekerjaan yang sudah sepakat ulama’ Islam membolehknnya, seperti kawin haram baginya, jual beli haram baginya, makan minum haram baginya dan lain-lain sebagainya.
x. Meniadakan suatu amalan ibadah yang telah sepakat ulama’ Islam mewajibkannnya, seperti sembahyang, puasa, zakat dan lain-lain sebagainya.
xi. Mengingkari kesahabatan para sahabat-sahabat Nabi yang utama seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar bin Khathab dan lain-lain sebagainya.
xii. Mengingkari sepotong atau seluruhnya ayat suci Al-Qur’an atau menambah sepotong atau seluruh ayat suci al-Qur’an dengan tujuan menjadikannya menjadi Al-Qur’an.
xiii. Mengingkari salah seorang Rasul yang telah sepakat ulama’-ulama’ Islam mengatakannya Rasul.
xiv. Mendustakan Rasul-rasul Alloh.
xv. Meng-i’tiqadkan ada Nabi sesudah Nabi Muhammad Saw.
xvi. Mendakwahkan jadi Nabi atau Rasul setelah Nabi Muhammad Saw.
b. Dalam amalan:
i. Sujud kepada berhala, pada matahari, pada bulan dan lain-lain.
ii. Sujud kepada manusia dengan suka rela.
iii. Menghina Nabi-nabi atau Rasul-rasul dengan lisan maupun perbuatan.
iv. Menghina kitab-kitab suci dengan lisan atau perbuatan.
v. Mengejek-ejek agama atau Alloh dengan lisan atau tulisan. dll.
c. Dalam perkataan
i. Mengucapkan “Hai kafir”, kepada orang Islam.
ii. Mengejek-ejek atau menghina nama Alloh.
iii. Mengejek-ejek hari akhirat, surga dan neraka.
iv. Mengejek-ejek salah satu syari’at, misalnya shalat, puasa, zakat, haji, thawaf keliling Ka’bah, wukuf di Arafah dan lain-lain sebagainya.
v. Mengejek-ejek malaikat-malaikat
vi. Mengejek-ejek Nabi-nabi dan Rasul-rasul.
vii. Mengejek-ejek keluarga Nabi.
viii. Mengejek-ejek Nabi Muhammad saw, dll.

Tawasul dan Tabarruk

Dalam hadits shahih bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam mengajarkan kepada sebagian umatnya untuk berdo'a di belakangnya (tidak di hadapannya) dengan mengucapkan:

"اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبينا محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى ربي في حاجتي لتقضى لي"

Maknanya: "Ya Allah aku memohon dan memanjatkan do'a kepada-Mu dengan Nabi kami Muhammad; Nabi pembawa rahmat, wahai Muhammad, sesungguhnya aku memohon kepada Allah dengan engkau berkait dengan hajatku agar dikabulkan".


Orang tersebut melaksanakan petunjuk Rasulullah ini. Orang ini adalah seorang buta yang ingin diberi kesembuhan dari butanya, akhirnya ia diberikan kesembuhan oleh Allah di belakang Rasulullah (tidak di majlis Rasulullah) dan kembali ke majlis Rasulullah dalam keadaan sembuh dan bisa melihat. Seorang sahabat yang lain -yang menyaksikan langsung peristiwa ini, karena pada saat itu ia berada di majelis Rasulullah- mengajarkan petunjuk ini kepada orang lain pada masa khalifah Utsman ibn 'Affan –semoga Allah meridlainya- yang tengah mengajukan permohonan kepada khalifah Utsman.

Pada saat itu Sayyidina Utsman sedang sibuk dan tidak sempat memperhatikan orang ini. Maka orang ini melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh orang buta pada masa Rasulullah tersebut. Setelah itu ia mendatangi Utsman ibn 'Affan dan akhirnya ia disambut oleh khalifah 'Utsman dan dipenuhi permohonannya. Umat Islam selanjutnya senantiasa menyebutkan hadits ini dan mengamalkan isinya hingga sekarang. Para ahli hadits juga menuliskan hadits ini dalam karya-karya mereka seperti al Hafizh at Thabarani – beliau menyatakan dalam "al Mu'jam al Kabir" dan "al Mu'jam ash-Shaghir": "Hadits ini shahih" [1] -, al Hafizh at-Turmudzi dari kalangan ahli hadits mutaqaddimin, juga al Hafizh an-Nawawi, al Hafizh Ibn al Jazari dan ulama muta-akhkhirin yang lain.

Hadits ini adalah dalil diperbolehkannya bertawassul dengan Nabi shallallahu 'alayhi wasallam pada saat Nabi masih hidup di belakangnya (tidak di hadapannya). Hadits ini juga menunjukkan bolehnya bertawassul dengan Nabi setelah beliau wafat seperti diajarkan oleh perawi hadits tersebut, yaitu sahabat Utsman ibn Hunayf kepada tamu sayyidina Utsman, karena memang hadits ini tidak hanya berlaku pada masa Nabi hidup tetapi berlaku selamanya dan tidak ada yang menasakhkannya. Dari sini diketahui bahwa orang-orang Wahhabi yang menyatakan bahwa tawassul adalah syirik dan kufur berarti telah mengkafirkan ahli hadits tersebut yang mencantumkan hadits-hadits ini untuk diamalkan. Semoga Allah melindungi kita dari paham yang tidak lurus seperti paham orang-orang wahhabi ini. [2]

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya dari Abu Sa'id al Khudri –semoga Allah meridlainya-, ia berkata, Rasulullah bersabda :

"من خرج من بيته إلى الصلاة فقال : اللهم إني أسألك بحق السائلين عليك وبحق ممشاي هذا فإني لم أخرج أشرا ولا بطرا ولا ريآء ولا سمعة خرجت اتقاء سخطك وابتغاء مرضاتك فأسألك أن تنقذنـي من النار وأن تغفر لي ذنوبي إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت ، أقبل الله عليه بوجهه واستغفر له سبعون ألف ملك" (رواه أحمد في المسند والطبراني في الدعاء وابن السني في عمل اليوم والليلة والبيهقي في الدعوات الكبير وغيرهم وحسن إسناده الحافظ ابن حجر والحافظ أبو الحسن المقدسي والحافظ العراقي والحافظ الدمياطي وغيرهم). ومعنى "أقبل الله عليه بوجهه" ليس على ظاهره بل هو مؤول بمعنى الرضا عنه .

Maknanya: "Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat (di masjid) kemudian ia berdo'a: "Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan derajat orang-orang yang saleh yang berdo'a kepada-Mu (baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal) dan dengan derajat langkah-langkahku ketika berjalan ini, sesungguhnya aku keluar rumah bukan untuk menunjukkan sikap angkuh dan sombong, juga bukan karena riya dan sum'ah, aku keluar rumah untuk menjauhi murka-Mu dan mencari ridla-Mu, maka aku memohon kepada-Mu: selamatkanlah aku dari api neraka dan ampunilah dosa-dosaku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, maka Allah akan meridlainya dan tujuh puluh ribu malaikat memohonkan ampun untuknya" (H.R. Ahmad dalam "al Musnad", ath-Thabarani dalam "ad-Du'a", Ibn as-Sunni dalam" 'Amal al Yaum wa al-laylah", al Bayhaqi dalam Kitab "ad-Da'awat al Kabir" dan selain mereka, sanad hadits ini dihasankan oleh al Hafizh Ibn Hajar, al Hafizh Abu al Hasan al Maqdisi, al Hafizh al 'Iraqi, al Hafizh ad-Dimyathi dan lain-lain).

Dalam hadits ini juga terdapat dalil dibolehkannya bertawassul dengan para shalihin, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Hadits ini adalah salah satu dalil Ahlussunnah Wal Jama'ah untuk membantah golongan Wahhabi yang mengharamkan tawassul dan mengkafirkan pelakunya. [3}

Sedangkan tentang mengambil berkah dengan berziarah ke makam para nabi dan wali, Rasulullah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi Musa berdoa :

" ربّ أدنني من الأرض المقدسة رمية بحجر "

Maknanya: "Ya Allah dekatkanlah aku ke Tanah Bayt al Maqdis meskipun sejauh lemparan batu"

Kemudian Rasulullah bersabda :

" والله لو أني عنده لأريتكم قبـره إلى جنب الطريق عند الكثيب الأحمر"

Maknanya : "Demi Allah, jika aku di dekat kuburan Nabi Musa niscaya akan aku perlihatkan kuburannya kepada kalian di samping jalan di daerah al Katsib al Ahmar"

Al Hafizh Waliyyuddin al 'Iraqi berkata : "Dalam hadits ini terdapat dalil kesunnahan untuk mengetahui kuburan orang-orang yang saleh untuk berziarah ke sana dan memenuhi hak-haknya". Karena itu para ahli hadits seperti al Hafizh Syamsuddin ibn al Jazari mengatakan dalam kitabnya 'Uddah al Hishn al Hashin :

ومن مواضع إجابة الدعاء قبور الصالـحين

Maknanya: " Di antara tempat dikabulkannya doa adalah kuburan orang-orang yang saleh "

Apalagi jika itu adalah kuburan Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam seperti yang dilakukan oleh sahabat Bilal ibn al Harits al Muzani (H.R. al Bayhaqi, Ibn Abi Syaybah dan lain-lain dan dishahihkan oleh al Bayhaqi dan Ibnu Katsir). Hal ini juga dilakukan oleh al Imam asy-Syafi'i terhadap kuburan al Imam Abu Hanifah.

___________________________________

[1]. Para ahli hadits (Hafizh) telah menyatakan bahwa hadits ini shahih, baik yang marfu' maupun kadar yang mawquf (peristiwa di masa sayyidina 'Utsman), di antaranya al Hafizh ath-Thabarani. Masalah tawassul dengan para nabi dan orang saleh ini hukumnya boleh dengan ijma' para ulama Islam sebagaimana dinyatakan oleh ulama madzhab empat seperti al Mardawi al Hanbali dalam Kitabnya al Inshaf, al Imam as-Subki asy-Syafi'i dalam kitabnya Syifa as-Saqam, Mulla Ali al Qari al Hanafi dalam Syarh al Misykat, Ibn al Hajj al Maliki dalam kitabnya al Madkhal

.

[2]. Golongan Wahhabi adalah pengikut Muhammad ibn Abdul Wahhab an-Najdi. Mereka menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, mengkafirkan orang-orang yang bertawassul dengan para nabi dan orang-orang shalih, mengharamkan peringatan maulid Nabi dan membaca al Qur'an untuk orang-orang muslim yang sudah meninggal dan mereka memiliki banyak kesesatan-kesesatan yang lain. Para ulama Ahlussunnah banyak sekali yang membantah mereka ini seperti Mufti Madzhab Syafi'i di Makkah al Mukarramah Syekh Ahmad Zaini Dahlan (W. 134 H) dalam kitab tarikh yang salah satu fasalnya berjudul Fitnah al Wahhabiyyah, Mufti madzhab Hanbali di Makkah al Mukarramah Syekh Muhammad ibn Abdullah ibn Humaid (W. 1295 H) dalam kitabnya as-Suhub al Wabilah 'Ala Dlara-ih al Hanabilah, Syekh Ibn 'Abidin al Hanafi (W. 1252 H) dalam Hasyiyahnya, Syekh Ahmad ash-Shawi al Maliki (W. 1241 H) dalam kitabnya Hasyiyah 'Ala Tafsir al Jalalain. Bagi yang menginginkan penjelasan yang panjang lebar baca kitab al Maqalat as-Sunniyyah fi Kasyfi Dlalalat Ahmad ibn Taimiyah.

[3]. Di antara orang yang menyalahi Ahlussunnah dalam masalah ini adalah Yusuf al Qardlawi. Ia menyatakan bahwa bertabarruk dengan peninggalan orang-orang yang saleh termasuk syirik -wal 'iyadz billah- sebagaimana ia tuturkan dalam kitabnya al Ibadah fi al Islam. Kesesatan al Qardlawi yang lain adalah seperti pernyataan bahwa Rasulullah bisa saja salah dalam hal agama seperti ia sampaikan lewat layar televisi al Jazirah, 12 september 1999. Al Qardlawi juga membolehkan bagi seorang perempuan yang masuk Islam untuk tetap menjadi istri suaminya yang kafir sebagaimana diangkat oleh Koran asy-Syarq al Awsath juga di situs-situs internet. Al Qardlawi juga melarang membaca al Fatihah untuk orang-orang Islam yang meninggal dunia, hal ini ia sampaikan lewat stasiun TV al Jazirah. Telah banyak para ulama Islam yang membantah al Qardlawi di antaranya adalah Syekh Nabil al Azhari, Syekh Khalil Daryan al Azhari, Mantan Menteri Agama dan Urusan Wakaf Emirat Arab Syekh Muhammad ibn Ahmad al Khazraji, Rektor al Azhar University Dr. Ahmad Umar Hasim, Dr. Shuhaib asy-Syami (Amin Fatwa Halab, Syiria), al Muhaddits Syekh Abdul Hayy al Ghumari, Dr. Sayyid Irsyad Ahmad al Bukhari dan lain-lain. Di antara ulama Indonesia yang membantah al Qardlawi adalah Habib Syekh ibn Ahmad al Musawa. Karena ini semua maka kita harus mewaspadai karya-karya al Qardlawi.

Hukum Lafadz Sayyidina

Kata-kata “sayyidina” atau ”tuan” atau “yang mulia” seringkali digunakan oleh kaum muslimin, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Hal itu termasuk amalan yang sangat utama, karena merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Syeikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri menyatakan:

الأوْلَى ذِكْرُالسَّيِّادَةِ لِأنَّ اْلأَفْضَلَ سُلُوْكُ اْلأَدَ بِ

“Yang lebih utama adalah mengucapkan sayyidina (sebelum nama Nabi SAW), karena hal yang lebih utama bersopan santun (kepada Beliau).” (Hasyisyah al-Bajuri, juz I, hal 156).


Pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi SAW:

عن أبي هريرةقا ل , قا ل ر سو ل الله صلي الله عليه وسلم أنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَأوَّلُ مَنْ يُنْسَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأوَّلُ شَافعٍ وأول مُشَافِعٍ


“Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat. Orang pertama yang bangkit dari kubur, orang yang pertama memberikan syafaa’at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk membrikan syafa’at.” (Shahih Muslim, 4223).

Hadits ini menyatakan bahwa nabi SAW menjadi sayyid di akhirat. Namun bukan berarti Nabi Muhammad SAW menjadi sayyid hanya pada hari kiamat saja. Bahkan beliau SAW menjadi sayyid manusia didunia dan akhirat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani:

“Kata sayyidina ini tidak hanya tertentu untuk Nabi Muhammad SAW di hari kiamat saja, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang dari beberapa riwayat hadits 'saya adalah sayyidnya anak cucu adam di hari kiamat.' Tapi Nabi SAW menjadi sayyid keturunan ‘Adam di dunia dan akhirat”. (dalam kitabnya Manhaj as-Salafi fi Fahmin Nushush bainan Nazhariyyah wat Tathbiq, 169)

Ini sebagai indikasi bahwa Nabi SAW membolehkan memanggil beliau dengan sayyidina. Karena memang kenyataannya begitu. Nabi Muhammad SAW sebagai junjungan kita umat manusia yang harus kita hormati sepanjang masa.

Lalu bagaimana dengan “hadits” yang menjelaskan larangan mengucapkan sayyidina di dalam shalat?

لَا تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلَاةِ

“Janganlah kalian mengucapakan sayyidina kepadaku di dalam shalat”

Ungkapan ini memang diklaim oleh sebagian golongan sebagai hadits Nabi SAW. Sehingga mereka mengatakan bahwa menambah kata sayyidina di depan nama Nabi Muhammad SAW adalah bid’ah dhalalah, bid’ah yang tidak baik.

Akan tetapi ungkapan ini masih diragukan kebenarannya. Sebab secara gramatika bahasa Arab, susunan kata-katanya ada yang tidak singkron. Dalam bahasa Arab tidak dikatakan سَادَ- يَسِيْدُ , akan tetapi سَادَ -يَسُوْدُ , Sehingga tidak bisa dikatakan لَاتُسَيِّدُوْنِي

Oleh karena itu, jika ungkapan itu disebut hadits, maka tergolong hadits maudhu’. Yakni hadits palsu, bukan sabda Nabi, karena tidak mungkin Nabi SAW keliru dalam menyusun kata-kata Arab. Konsekuensinya, hadits itu tidak bisa dijadikan dalil untuk melarang mengucapkan sayyidina dalam shalat?

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa membaca sayyidina ketika membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW boleh-boleh saja, bahkan dianjurkan. Demikian pula ketika membaca tasyahud di dalam shalat.

Urgensi Bermadzhab

Limpahan kebahagiaan dan rahmat Nya swt semoga selalu tercurah pada hari hari anda, saudaraku yang kumuliakan, mengenai keberadaan negara kita di indonesia ini adalah bermadzhabkan syafii, demikian guru guru kita dan guru guru mereka, sanad guru mereka jelas hingga Imam syafii, dan sanad m ereka muttashil hingga Imam Bukhari, bahkan hingga rasul saw, bukan sebagaimana orang orang masa kini yang m engambil ilmu dari buku terjemahan lalu berfatwa untuk memilih madzhab semaunya,


Anda benar, bahwa kita mesti m enyesuaikan dengan keadaan, bila kita di makkah misalnya, m aka madzhab disana kebanyakan hanafi, dan di Madinah madzhab kebanyakannya adalah Maliki, selayaknya kita mengikuti madzhab setempat, agar tak menjadi fitnah dan dianggap lain sendiri, beda dengan sebagian muslimin masa kini yang gemar mencari yang aneh dan beda, tak mau ikut jamaah dan cenderung memisahkan diri agar dianggap lebih alim dari yang lain, hal ini adalah dari ketidak fahaman melihat situasi suatu tempat dan kondisi masyarakat.

Memang tak ada perintah wajib bermadzhab secara shariih, namun berm adzhab wajib hukumnya, karena kaidah syariah adalah Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib, yaitu apa apa yang mesti ada sebagai perantara untuk mencapai hal yang wajib, menjadi wajib hukumnya.

Misalnya kita mem beli air, apa hukum nya?, tentunya mubah saja, namun bila kita akan shalat fardhu tapi air tidak ada, dan yang ada hanyalah air yang harus beli, dan kita punya uang, maka apa hukumnya m embeli air?, dari mubah berubah menjadi wajib tentunya. karena perlu untuk shalat yang wajib.

Demikian pula dalam syariah ini, tak wajib mengikuti madzhab, namun karena kita tak mengetahui samudra syariah seluruh madzhab, dan kita hidup 14 abad setelah wafatnya Rasul saw, maka kita tak mengenal hukum ibadah kecuali menelusuri fatwa yang ada di imam imam muhaddits terdahulu, maka bermadzhab menjadi wajib,

Karena kita tak bisa beribadah hal hal yang fardhu / wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya.

Sebagaimana suatu contoh kejadian ketika zeyd dan amir sedang berwudhu, lalu keduanya kepasar, dan masing masing membeli sesuatu di pasar seraya keduanya menyentuh wanita, lalu keduanya akan shalat, maka zeyd berwudhu dan amir tak berwudhu, ketika zeyd bertanya pada amir, mengapa kau tak berwudhu?, bukankah kau bersentuhan dengan wanita?, maka amir berkata, aku bermadzhabkan maliki, maka zeyd berkata, maka wudhu mu itu tak sah dalam madzhab malik dan tak sah pula dalam madzhab syafii, karena madzhab maliki mengajarkun wudhu harus menggosok anggota wudhu, tak cukup hanya mengusap, namun kau tadi berwudhu
dengan madzhab syafii dan lalu dalam masalah bersentuhan kau ingin mengambil madzhab maliki, maka bersuci mu kini tak sah secara maliki dan telah batal pula dalam madzhab syafii.

Demikian contoh kecil dari kebodohan orang yang mengatakan berm adzhab tidak wajib, lalu siapa yang akan bertanggung jawab atas wudhunya?, ia butuh sanad yang ia pegang bahwa ia berpegangan pada sunnah nabi saw dalam wudhunya, sanadnya berpadu pada Imam Syafii atau pada Imam Malik?, atau pada lainnya?, atau ia tak berpegang pada salah satunya sebagaimana contoh diatas.

10 Sahabat dijamin masuk surga

10 Sahabat Ahli Surga
"Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang petama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dengan mereka dan mereka ridho kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung." (Qs At-Taubah : 100)

Berikut ini dari bukunya Bey Arifin, Samudera Al-Fatihah yang diterbitkan pada tahun 1965, mengenai 10 orang sahabat terdekat Rasul sekaligus yang dijamin masuk surga (Asratul Kiraam).

1. Abu Bakar Siddiq ra.
Beliau adalah khalifah pertama sesudah wafatnya Rasulullah Saw. Selain itu Abu bakar juga merupakan laki-laki pertama yang masuk Islam, pengorbanan dan keberanian beliau tercatat dalam sejarah, bahkan juga didalam Quran (Surah At-Taubah ayat ke-40) sebagaimana berikut : "Jikalau tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seseorang dari dua orang (Rasulullah dan Abu Bakar) ketika keduanya berada dalam gua, diwaktu dia berkata kepada temannya:"Janganlah berduka cita, sesungguhya Allah bersama kita". Maka Allah menurunkan ketenangan kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." Abu Bakar Siddiq meninggal dalam umur 63 tahun, dari beliau diriwayatkan 142 hadiets.

2. Umar Bin Khatab ra.
Beliau adalah khalifah ke-dua sesudah Abu Bakar, dan termasuk salah seorang yang sangat dikasihi oleh Nabi Muhammad Saw semasa hidupnya. Sebelum memeluk Islam, Beliau merupakan musuh yang paling ditakuti oleh kaum Muslimin. Namun semenjak ia bersyahadat dihadapan Rasul (tahun keenam sesudah Muhammad diangkat sebagai Nabi Allah), ia menjadi salah satu benteng Islam yang mampu menyurutkan perlawanan kaum Quraish terhadap diri Nabi dan sahabat. Dijaman kekhalifaannya, Islam berkembang seluas-luasnya dari Timur hingga ke Barat, kerajaan Persia dan Romawi Timur dapat ditaklukkannya dalam waktu hanya satu tahun. Beliau meninggal dalam umur 64 tahun karena dibunuh, dikuburkan berdekatan dengan Abu Bakar dan Rasulullah dibekas rumah Aisyah yang sekarang terletak didalam masjid Nabawi di Madinah.

3. Usman Bin Affan ra.
Khalifah ketiga setelah wafatnya Umar, pada pemerintahannyalah seluruh tulisan-tulisan wahyu yang pernah dicatat oleh sahabat semasa Rasul hidup dikumpulkan, kemudian disusun menurut susunan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw sehingga menjadi sebuah kitab (suci) sebagaimana yang kita dapati sekarang. Beliau meninggal dalam umur 82 tahun (ada yang meriwayatkan 88 tahun) dan dikuburkan di Baqi'.

4. Ali Bin Abi Thalib ra.
Merupakan khalifah keempat, beliau terkenal dengan siasat perang dan ilmu pengetahuan yang tinggi. Selain Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib juga terkenal keberaniannya didalam peperangan. Beliau sudah mengikuti Rasulullah sejak kecil dan hidup bersama Beliau sampai Rasul diangkat menjadi Nabi hingga wafatnya. Ali Bin Abi Thalib meninggal dalam umur 64 tahun dan dikuburkan di Koufah, Irak sekarang.

5. Thalhah Bin Abdullah ra.
Masuk Islam dengan perantaraan Abu Bakar Siddiq ra, selalu aktif disetiap peperangan selain Perang Badar. Didalam perang Uhud, beliaulah yang mempertahankan Rasulullah Saw sehingga terhindar dari mata pedang musuh, sehingga putus jari-jari beliau. Thalhah Bin Abdullah gugur dalam Perang Jamal dimasa pemerintahan Ali Bin Abi Thalib dalam usia 64 tahun, dan dimakamkan di Basrah.

6. Zubair Bin Awaam
Memeluk Islam juga karena Abu Bakar Siddiq ra, ikut berhijrah sebanyak dua kali ke Habasyah dan mengikuti semua peperangan. Beliau pun gugur dalam perang Jamal dan dikuburkan di Basrah pada umur 64 tahun.

7. Sa'ad bin Abi Waqqas
Mengikuti Islam sejak umur 17 tahun dan mengikuti seluruh peperangan, pernah ditawan musuh lalu ditebus oleh Rasulullah dengan ke-2 ibu bapaknya sendiri sewaktu perang Uhud. Meninggal dalam usia 70 (ada yang meriwayatkan 82 tahun) dan dikuburkan di Baqi'.

8. Sa'id Bin Zaid
Sudah Islam sejak kecilnya, mengikuti semua peperangan kecuali Perang Badar. Beliau bersama Thalhah Bin Abdullah pernah diperintahkan oleh rasul untuk memata-matai gerakan musuh (Quraish). Meninggal dalam usia 70 tahun dikuburkan di Baqi'.

9. Abdurrahman Bin Auf
Memeluk Islam sejak kecilnya melalui Abu Bakar Siddiq dan mengikuti semua peperangan bersama Rasul. Turut berhijrah ke Habasyah sebanyak 2 kali. Meninggal pada umur 72 tahun (ada yang meriwayatkan 75 tahun), dimakamkan di baqi'.

10. Abu Ubaidillah Bin Jarrah
Masuk Islam bersama Usman bin Math'uun, turut berhijrah ke Habasyah pada periode kedua dan mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah Saw. Meninggal pada tahun 18 H di urdun (Syam) karena penyakit pes, dan dimakamkan di Urdun yang sampai saat ini masih sering diziarahi oleh kaum Muslimin.

Sampaikah Doa Pada Mayit?

Mereka yang mempunyai anggapan bahwa doa kepada mayit tidak sampai sepertinya hanya secara tekstual (harfiyah) memahami suatu dalil tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lainnya.

Sehingga kesimpulan yang mereka ambil mengenai do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang yang telah meninggal. Dalam ayat lain Allah SWT menyatakan bahwa orang yang telah meninggal dapat menerima manfaat doa yang dikirimkan oleh orang yang masih hidup. Allah SWT berfirman:

وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلإخَْوَانِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإَْيْمَانِ......

“Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)

1. ٍAyat ini menunjunkkan bahwa doa generasi berikut bisa sampai kepada generasi pendahulunya yang telah meninggal. Begitu juga keterangan dalam kitab “At-Tawassul” karangan As-Syaikh Albani menyatakan: “Bertawassul yang diizinkan dalam syara’ adalah tawassul dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah, tawassul dengan amalan soleh dan tawassul dengan doa orang shaleh.”

2. Mukjizat para nabi, karomah para wali dan ma’unah para ulama tidak terputus dengan kematian mereka. Dalam kitab Syawahidu al Haq, karya Syeikh Yusuf Ibn Ismail an-Nabhani: 118 dinyatakan:

وَيَجُوزُ التَّوَسُّلُ بِهِمْ إلَى اللهِ تَعَالَى ، وَالإِسْتِغَاثَةُ بِالأنْبِيَاءِ وَالمُرْسَلِيْنَ وَالعُلَمَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ بَعْدَ مَوتِهِمْ لأَنَّ مُعْجِزَةَ الأَنْبِيَاءِ وَكَرَمَاتِ الأَولِيَاءِ لاَتَنْقَطِعُ بِالمَوتِ

“Boleh bertawassul dengan mereka (para nabi dan wali) untuk memohon kepada Allah SWT dan boleh meminta pertolongan dengan perantara para Nabi, Rasul, para ulama dan orang-orang yang shalih setelah mereka wafat, karena mukjizat para Nabi dan karomah para wali itu tidaklah terputus sebab kematian.”(Syeikh Yusuf Ibn Ismail an-Nabhani, Syawahidul Haq, (Jakarta: Dinamika Berkah Utama, t.th), h. 118)

3. Dasar hukum yang menerangkan bahwa pahala dari bacaan yang dilakukan oleh keluarga mayit atau orang lain itu dapat sampai kepada si mayit yang dikirimi pahala dari bacaan tersebut adalah banyak sekali. Antara lain hadits yang dikemukakan oleh Dr. Ahmad as-Syarbashi, guru besar pada Universitas al-Azhar, dalam kitabnya, Yas`aluunaka fid Diini wal Hayaah juz 1 : 442, sebagai berikut:

وَقَدِ اسْتَدَلَّ الفُقَهَاءُ عَلَى هَذَا بِأَنَّ أَحَدَ الصَّحَابَةِ سَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّم فَقَالَ لَهُ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّا نَتَصَدَّقُ عَنْ مَوتَانَا وَنُحَجُّ عَنْهُمْ وَنَدعُو لَهُمْ هَلْْ يَصِلُ ذَلِكَ إِلَيْهِمْ؟ قَالَ: نَعَمْ إِنَّهُ لَيَصِلُ إِلَيْهِمْ وَإِنَّهُمْ لَيَفْرَحُوْنَ بِهِ كَمَا يَفْرَحُ اَحَدُكُم بِالطَّبَقِ إِذَا أُهْدِيَ إِلَيْهِ!

“Sungguh para ahli fiqh telah berargumentasi atas kiriman pahala ibadah itu dapat sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia, dengan hadist bahwa sesungguhnya ada salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, seraya berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami bersedekah untuk keluarga kami yang sudah mati, kami melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa bagi mereka; apakah hal tersebut pahalanya dapat sampai kepada mereka? Rasulullah saw bersabda: Ya! Sungguh pahala dari ibadah itu benar-benar akan sampai kepada mereka dan sesungguhnya mereka itu benar-benar bergembira dengan kiriman pahala tersebut, sebagaimana salah seorang dari kamu sekalian bergembira dengan hadiah apabila hadiah tersebut dikirimkan kepadanya!"

Sedangkan Memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang meninggal, hukumnya boleh (mubah), dan menurut mayoritas ulama bahwa memberi jamuan itu termasuk ibadah yang terpuji dan dianjurkan. Sebab, jika dilihat dari segi jamuannya termasuk sedekah yang dianjurkan oleh Islam yang pahalanya dihadiahkan pada orang telah meninggal. Dan lebih dari itu, ada tujuan lain yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu ikramud dla`if (menghormati tamu), bersabar menghadapi musibah dan tidak menampakkan rasa susah dan gelisah kepada orang lain.

Ketiga hal tersebut, semuanaya termasuk ibadah dan perbuatan taat yang diridlai oleh Allah AWT. Syaikh Nawawi dan Syaikh Isma’il menyatakan: "Bersedekah untuk orang yang telah meninggal dunia itu sunnah (matlub), tetapi hal itu tidak harus dikaitkan dengan hari-hari yang telah mentradisi di suatu komunitas masyarakat dan acara tersebut dimaksudkan untuk meratapi mayit.

وَالتَّصَدُّقُ عَنِ المَيِّتِ بِوَجْهٍ شَرْعِيٍ مَطْلُوْبٌ وَلاَ يَتَقَيَّدُ بِكَوْنِهِ فِىْ سَبْعَةِ أَيَّامٍ أَوْ أَكْثَرَ أَوْ أَقَلَّ وَتَقْيِيْدُ بَعْضِ الأَيَّامِ مِنَ العَوَائِدِ فَقَطْ كَمَا أَفْتىَ بِذَالِكَ السَيِّدُ اَحْمَد دَحْلاَنْ وَقَدْ جَرَتْ عَادَةُ النَّاسِ بِالتَّصَدُّقِ عَنِ المَيِّتِ فِىْثاَلِثٍ مِنْ مَوْتِهِ وَفِىْسَابِعٍ وَفِىْ تَمَامِ العِشْرِيْنَ وَفِى الأَرْبَعِيْنَ وَفِى المِائَةِ وَبَعْدَ ذَالِكَ يَفْعَلُ كُلَّ سَنَةٍ حَوْلاً فِىْ يَوْمِ المَوْتِ

"Memberi jamuan secara syara’ (yang pahalanya) diberikan kepada mayyit dianjurkan (sunnah). Acara tersebut tidak terikat dengan waktu tertentu seperti tujuh hari. Maka memberi jamuan pada hari ketiga, ketujuh, kedua puluh, ke empat puluh, dan tahunan (hawl) dari kematian mayyit merupakat kebiasaan (adat) saja. (Nihayatuz Zain: 281 , I’anatuth-thalibin, Juz II: 166)

HM Cholil Nafis MA
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU

Berdzikir dengan Pengeras Suara

Dzikir adalah perintah Allah SWT yang harus kita laksanakan setiap saat, dimanapun dan kapanpun. Allah selalu mendengar apapun yang kita ucapkan oleh mulut atau hati kita. Dzikir merupakan salah satu sarana komunikasi antara makhluk dengan khaliqnya. Dengan berdzikir seseorang dapat meraih ketenangan, karena pada saat berdzikir ia telah menemukan tempat berlindung dan kepasrahan total kepada Allah SWT.

Oleh karena itu, dzikir harus dilaksanakan dengan sepenuh hati, jiwa yang tulus, dan hati yang khusyu' penuh khidmat. Untuk bisa berdzikir dengan hati yang khusyu' itu diperlukan perjuangan yang tidak ringan, masing-masing orang memiliki cara tersendiri. Bisa jadi satu orang lebih khusyu' kalau berdzikir dengan cara duduk menghadap kiblat, sementara yang lain akan lebih khusyu' dan khidmat jika wirid dzikir dengan cara berdiri atau berjalan, ada pula dengan cara mengeraskan dzikir atau dengan cara dzikir pelan dan hampir tidak bersuara untuk mendatangkan konsentrasi dan ke-khusyu'-an. Maka cara dzikir yang lebih utama adalah melakukan dzikir pada suasana dan cara yang dapat medatangkan ke-khusyu’-an.

Imam Zainuddin al-Malibari menegaskan: “Disunnahkan berzikir dan berdoa secara pelan seusai shalat. Maksudnya, hukumnya sunnah membaca dzikir dan doa secara pelan bagi orang yang shalat sendirian, berjema’ah, imam yang tidak bermaksud mengajarkannya dan tidak bermaksud pula untuk memperdengarkan doanya supaya diamini mereka." (Fathul Mu’in: 24). Berarti kalau berdzikir dan berdoa untuk mengajar dan membimbing jama’ah maka hukumnya boleh mengeraskan suara dzikir dan doa.

Memang ada banyak hadits yang menjelaskan keutamaan mengeraskan bacaan dzikir, sebagaimana juga banyak sabda Nabi SAW yang menganjurkan untuk berdzikir dengan suara yang pelan. Namun sebenarnya hadits itu tidak bertentangan, karena masing-masing memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Yakni disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

Contoh hadits yang menganjurkan untuk mengeraskan dzikir riwayat Ibnu Abbas berikut ini: "Aku mengetahui dan mendengarnya (berdzikir dan berdoa dengan suara keras) apabila mereka selesai melaksanakan shalat dan hendak meninggalkan masjid.” (HR Bukhari dan Muslim)

Ibnu Adra’ berkata: "Pernah Saya berjalan bersama Rasulullah SAW lalu bertemu dengan seorang laki-laki di Masjid yang sedang mengeraskan suaranya untuk berdzikir. Saya berkata, wahai Rasulullah mungkin dia (melakukan itu) dalam keadaan riya'. Rasulullah SAW menjawab: "Tidak, tapi dia sedang mencari ketenangan."

Hadits lainnya justru menjelaskan keutamaan berdzikir secara pelan. Sa'd bin Malik meriwayatkan Rasulullah saw bersabda, "Keutamaan dzikir adalah yang pelan (sirr), dan sebaik rizki adalah sesuatu yang mencukupi." Bagaimana menyikapi dua hadits yang seakan-akan kontradiktif itu. berikut penjelasan Imam Nawawi:

وَقَدْ جَمَعَ النَّوَوِيُّ بَيْنَ الأَحَادِيْثِ الوَارِدَةِ فِيْ اسْتِحْبَابِ الجَهْرِ بِالذِّكْرِ وَالوَارِدَةِ فِيْ اسْتِحْبَابِ الإِسْرَارِ بِهِ بِأَنَّ الإِخْفَاءَ أَفْضَلُ حَيْثُ خَافَ الرِّياَءَ أَوْتَأَذَّى المُصَلُّوْنَ أَوْالنَّائِمُوْنَ. وَالجَهْرُ أَفْضَلُ فِيْ غَيْرِ ذَالِكَ لِأَنَّ العَمَلَ فِيْهِ أَكْثَرُ وَلِأَنََّ فَائِدَتَهُ تَتَعَدَّى إِلَى السَّامِعِيْنَ وَلِأَنَّهُ يُوْقِظُ قَلْبَ الذَّاكِرِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ إِلَى الفِكْرِ وَيُصَرِّفُ سَمْعَهُ إِلَيْهِ وَيُطَرِّدُ النَّوْمَ"

“Imam Nawawi menkompromikan (al jam’u wat taufiq) antara dua hadits yang mensunnahkan mengeraskan suara dzikir dan hadist yang mensunnahkan memelankan suara dzikir tersebut, bahwa memelankan dzikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya', mengganggu orang yang shalat atau orang tidur, dan mengeraskan dzikir lebih utama jika lebih banyak mendatangkan manfaat seperti agar kumandang dzikir itu bisa sampai kepada orang yang ingin mendengar, dapat mengingatkan hati orang yang lalai, terus merenungkan dan menghayati dzikir, mengkonsentrasikan pendengaran jama’ah, menghilangkan ngantuk serta menambah semangat." (Ruhul Bayan, Juz III: h. 306).

Kesimpulannya, bahwa dzikir itu tidak mesti harus dengan suara keras atau pelan tetapi tergantung kepada situasi dan kondisi; jika dalam kondisi ingin mengajarkan, membimbing dan menambah ke-khusyu’-an maka mengeraskan suara dzikir itu hukumnya sunnah dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bahkan dalam beberapa keadaan sangat dianjurkan untuk mengeraskan dzikir.

Namun disunnahkan memelankan suara dzikir jika sekiranya mengeraskan suara dzikir dapat menggangu ke-khusyu’-an diri sendiri dan orang lain, mengganggu orang orang tidur dan menyebabkan hati riya’. Bagi kita umat muslim hendaklah menghindari mengeraskan suara dzikir yang dapat mengganggu kenyamanan dan ketenangan masyarakat. Wallahu a’lam bis shawab.

H.M.Cholil Nafis, MA.
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU